Selamat datang di SlendangWetan Institut, Blognya orang yang "sadar diri" !

5.01.2008

Gambaran Skripsiku

LEMBAR PERSETUJUAN

Proposal Skripsi dengan judul

PENGARUH PERUBAHAN ALAM MIKRO (MANUSIA)

TERHADAP PERURUBAHAN ALAM MAKRO (ALAM SEMESTA)

yang diajukan oleh
RANGGA RAMDAN SYAH

NIM: E01205005

Telah disetujui oleh Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan dosen pembimbing:

1. …………………………………………………………….

2. …………………………………………………………….

Surabaya, tanggal……………………

Ketua Jurusan Aqidah Filsafat

Drs.Lukisno


1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak akhir tahun 2006 banyak sekali bencana alam yang bersusulan terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mulai dari badai besar di Aceh atau yang disebut oleh para ahli Meteologi dan Geofisika sebagai tsunami yang meluluh lantakan sebagian besar kewilayahan Aceh dan negara Asia tenggara lainnya. Kebanyakan terjadi tsunami diwilayah samudara pasifik, terutama di Jepang dan Hawai.

Dalam sejarah tsunami pertamakali terjadi di Lisboa ibu kota Portugal pada tanggal 1 November 1755 dan menelan korban 60.000 jiwa. Kemudian di Indonesia pada tanggal 26 Agustus 1883, terjadi letusan Gunung Krakatau dan tsunami yang menewaskan lebih dari 36.000 jiwa. Bukan hanya bencana stunami saja yang terjadi akhir-akhir ini seperti banjir yang hampir seperti tradisi orang Jakarta, longsor, gunung meletus. Apa lagi sekarang hampir diperkirakan seluruh wilah Jawa terkena banjir, seperti Bojonegoro, Mediun, Trenggalek, Lamongan dan sebagainnya. Yang jadi pertannya kita apa yang menjadi penyebab ketidak teraturannya alam ini bahkan badan studi meteologi dan geofisika sulit untuk memprediksi datangnya gempa bahkan salah memprediksikannya, contoh nyata yang barusan terjadi tentang status Gunung Kelud yang dinyatakan dalam status awas, yang dimana dalam keadan ini diperkirakan gunung tersebut akan meletus. Namun pada kenyaatannya anak Gunung Krakatau yang dalam status siaga justru meletus.

Menanggapi ketidak teratruran dan seringnya bencana alam yang diakibatkan pemanasan global banyak elemen-elemen masyarakat atau aktivis pencintaa alam mengkampanyekan untuk melestarikan lingkungan dengan menamam pepohonan seperti apa yang telah di lakukan oleh Mahasiswa Perta Surabaya, dan juga tentang penggurangan gas karbondioksida yang dapat menipiskan atmosfer.

Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi. Planet Bumi telah menghangat (dan juga mendingin) berkali-kali selama 4,65 milyar tahun sejarahnya. Pada saat ini, Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuan dianggap disebabkan aktifitas manusia. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi. Jadi intinya Bumi kita memanas karena sinar matahari yang sudah masuk ke bumi kita tidak bisa keluar lagi karena gas-gas rumah kaca tadi membentuk lapisan di atmosfer yang memantulkan sinar matahari tadi.

Dalam padangan para ulama atau kaum agamawan, banyaknya bencana yang terjadi termasuk di Indonesia yang terjadi bersusulan ini bahwkan diperkirakan pulau jawa akan tenggelam__itu karen murka Tuhan atau balak atau Adzab dari Allah SWT. Di mana orang zaman sekarang menurut kaum agamawan__banyak melakukan ma’syiat dan menjauh dari Tuhan sehingga murka-Nya lah yang bicara.

Jadi kalau kita lihat beberapa pendapat elemen-elemen masyarakat baik secara ilmiah atau pandangan dari ilmuwan dan dari sudut pandang kaum agamawan, faktor penentu yang mengakibatkan ketidak serasian alam semesta hingga mengakibatkan bencana dimana-mana ialah manusia sebagai subjek untama atau kator utama dalam keseruatan alam ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berpijak dari uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti dalam hal ini adalah bagaimana keterkaitan antara manusia yang secara filosofis adalah alam mikro dengan alam makro atau alam jagat raya ini.

1.3 Batasan Masalah

Pada Pengeruh Perubahan Alam Mikro (manusia) terhadap Perubahan Alam Makro (Alam semesta) ini diberikan pembatasan masalah sebagai berikut:

· Pengaruh perubahan manusia yang ditilik sebatas dari pola hidup atau pandangan hidup (way of life ).

· Pandang hidu atau pola hidup manusia sebatas dari intensitas pritualitas seseorang dan juga Psiologi seseorang tersebut.

· Metode yang dipakai adalah Fenomenologi Husserl sertya menggunakan kajian pustaka.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa signifikankah pengaruh perubahan manusia baik secara psikologis dan psiritual seseorang terhadap perubahan alam semesta yang akhir-akhir ini mengalami perubahan yang berdampak kepada nasip menusia di muka bumi ini.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain sebagai masukan dan memperkaya pengetahuan mahasiswa terutama mahasiswa dan masyarakat pada umumnya sehingga dapat merubah pandangan hidup (way of life) masyarakat atau pola hidupnya yang cenderung individualis dan berorientasikan kepada kesenangan semata (hidonis) sehingga menghilanggkan aspek spiritualitas yang mempengaruhi psikologi sesorang yang tidak mudah terkontrol.

1.6 Metode Penulisan

Metode sejarah atau cara memperoleh informasi dalam penelitian ini adalah dengan melihat fenomena masyarakat sertab melihat gejala alam dan ditambah dengan kajian pustaka atau teori-teori yang mengungkapkan jatidiri manusia yang mempunyai keterikan terhadap alam raya.

1.7. Daftar Pustaka

­__Hikmah-hima Serat Jayabaya, (diterjemahkan dari; Lesson from Jayabaya ); Nirwana, Yogyakarta 2003.

__Brouwer,M.A.W., Alam Manusia dalam Fenomenologi, PT Gramedia, Jakarta 1988.

__Hadi,P. Hardono., Jatidiri Manusia Berdasarkan Filasafat Organisme Whitehead, Kanisisus, Yogyakarta 1996.

__Khan, Hazrat Inayat., Dimensi Spiritual Psikologi, Pustaka Hidayah, Bandung 1981.

_Suryadipura, R.Paryana., Manusia dengan atomnya dalam Sehat dan Sakit (antropologi bersarkan Atomfisika), Bumi Aksara, Jakarta 1994.

_Kitab Tai Shang Lao Jun Zhen Jing

_Kitab Tao

_Kitab Erl Lang Shen cen ci

_Primbon

Bahasa AGAMA


Mukadimah
Salah satu dari subyek penting pembahasan dalam ranah teologi dan filsafat agama adalah analisa dan observasi tentang bahasa agama serta mekanisme pemahaman dan penguraian agama. Pembahasan yang berhubungan dengan hal tersebut, dengan menimbang perjalanan perubahannya dari zaman Yunani kuno hingga sekarang ini dimana mengalami perubahan-perubahan yang cukup kompleks, hadirnya analisa-analisa yang semakin membuahkan pertentangan dan perbedaan serta terungkapnya pertanyaan-pertanyaan yang cukup rumit dan akurat, seperti Apakah bahasa agama bermakna atau tidak bermakna? Apakah bahasa agama dapat ditetapkan, dibatalkan dan ditegaskan dengan tolok ukur ilmiah dan empirik ataukah tidak? Apa hubungannya dengan bahasa ilmiah, akhlak, filsafat dan seni? Apakah bahasa agama mempunyai satu dimensi atau memiliki dimensi-dimensi yang beragam? Apakah bahasa agama hanya mengulas alam realitas ataukah memberi motivasi dan menarik hati? Bagaimana dapat memahami bahasa agama dan mengantarkan kepada hakikat dan substansi agama?[1]
Berhubungan dengan persoalan-persoalan tersebut di atas, terdapat pertanyaan-pertanyaan klasik dalam ilmu kalam (teologi) tentang ketuhanan, bagaimana memahami dan menganalisa makna yang homonim antara Tuhan dengan manusia atau yang dinisbahkan terhadap maujud-maujud materi. Apakah sifat-sifat ini mempunyai makna umum dimana makna manusia diperoleh karena dipredikasikan kepada Tuhan? Ataukah mempunyai makna yang lain? Pertanyaan ini awalnya ditujukan kepada sifat-sifat ketuhanan, tetapi selanjutnya berkembang meliputi seluruh pernyataan-pernyataan keagamaan sehingga menghadirkan kerisauan dan problematika baru; sebagaimana yang diisyaratkan, pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah proposisi-proposisi dan keyakinan-keyakinan agama mempunyai makna ataukah sama sekali tidak bermakna? Mempunyai makna yang dapat dipahami ataukah tidak dapat dipahami? Memiliki makna simbolis ataukah makna aplikatif dan berdimensi pada pengungkapan perasaan? Dan banyak lagi bentuk pertanyaan-pertanyaan lain seperti di atas yang membutuhkan jawaban-jawaban yang serius dan memuaskan.[2]
Adapun faktor-faktor yang menjadikan bahasa agama menjadi urgen dibahas oleh para teolog dan filosof (muslim dan non-muslim) adalah sebagai berikut:

1. Pentingnya menyingkap makna dan pengertian proposisi-proposisi keagamaan dan ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan Tuhan;
2. Menganalisa sifat-sifat berita (al-khabariyyah) (seperti tangan, wajah, dan…) untuk menjauhi dimensi keserupaan, kematerian dan menghindar dari "kematian" rasionalisasi agama;
3. Menyingkap makna dari sifat-sifat yang sama antara manusia dan Tuhan, seperti ilmu, kodrat, iradah dan…;
4. Kontradiksi antara ilmu dan agama (menurut sebagian pemikir dan ilmuwan agama), dan untuk memecahkan masalah kontradiksi tersebut dihadirkan bahasa agama;
5. Menganalisa dan mengobservasi keyakinan-keyakinan dan proposisi-proposisi keagamaan dengan tujuan memecahkan problematika perselisihan internal agama;[3]
6. Munculnya aliran-aliran khusus filsafat, seperti positivisme, positivisme logikal dan filsafat analitik.
Teori dan Pendekatan Terhadap Bahasa Agama
Dalam mengantisipasi faktor-faktor yang mendasari timbulnya pembahasan tentang bahasa agama (sebagaimana yang disebutkan di atas) maka para teolog dan filosof agama mengutarakan beberapa jalan pemecahan untuk masalah teks agama, penafsiran yang benar terhadap teks, pemecahan kontradiksi yang ada dan ketaksesuaian agama dengan akal dan ilmu. Berkenan dengan masalah tersebut maka kami berusaha dalam tulisan ini mengungkapkan teori dan pendekatan dari teologi dan filsafat Islam dan juga pandangan dari filosof dan teolog Barat dan Kristen:

a. Pendekatan Teologi Dan Filsafat Islam
Pembahasan tentang bahasa agama dalam Islam bisa ditinjau berdasarkan pemikiran-pemikiran para teolog dan filosof Islam dalam menganalisa dan mengkaji bahasa yang disifatkan kepada Tuhan secara khusus dan bahasa yang dinisbahkan kepada seluruh keyakinan keagamaan secara umum.
Para teolog Islam membagi sifat-sifat Tuhan kepada sifat dzat seperti ilmu, kudrat dan hidup dan sifat berita, seperti wajah dan tangan (sifat-sifat yang diberitakan dalam teks al-Qur'an). Menisbahkan sifat-sifat manusia kepada Tuhan (sifat berita penyerupaan, al-musyabbiyâh), tetapi pada umumnya kaum muslimin menyanggah dan mengkritik mereka dengan dalil dan argumen rasional (al-aql) serta teks suci (an-naql); sebab mustahil menisbahkan kualitas-kualitas insani yang mempunyai dimensi kemakhlukan (mumkin al-wujûd) terhadap Tuhan yang Wâjibul Wujûd.
Asy'ariyyah menafsirkan sifat-sifat tersebut dengan makna umum (pengertian yang digunakan dalam masyarakat secara umum) terhadap Tuhan, tetapi untuk menghindari penyerupaan (at-tasybih,anthropomorphism) mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan memiliki wajah dan tangan tapi tanpa tasybih."[4]
Kelompok lain dari Asy'ariyyah, di samping menisbahkan sifat-sifat tersebut terhadap Tuhan juga menyerahkan pemaknaan sifat-sifat tersebut kepada Tuhan dengan pengertian bahwa manusia tidak mampu memahami makna-makna dari sifat-sifat berita. Analisa ini juga tidak sesuai dengan kemestian fedeisme (fideism, kecenderungan keimanan) serta informasi dan pengetahuan dari keyakinan-keyakinan keagamaan dan keimanan, dan akan menyebabkan peniadaan pengetahuan terhadap ayat-ayat dan sifat-sifat Tuhan.
Dalam hal ini Mu'tazilah mengemukakan teori penakwilan dan menafsirkankan sifat-sifat berita dengan pengertian yang menyalahi makna-makna lahiriah, sebagai contoh "tangan" ditakwilkan dengan makna "kenikmatan" dan "kekuasaan". Teori penakwilan Mu'tazilah ini tidaklah sempurna, karena takwil tersebut mesti menyebabkan pergeseran makna dari makna lahiriah kepada makna yang menyalahi makna lahiriah, sedangkan Mu'tazilah memaknai "tangan" dengan "kekuasaan" dimana ia merupakan salah satu dari makna lahiriah "tangan" (jadi tidak terjadi penakwilan).[5]
Pandangan yang lain dari teolog dan ahli ushul fiqih Syi'ah menyatakan bahwa makna kata-kata dibagi atas dua bagian:

1. Implikasi pengertian (ad-dilâlah at-tashawwuriyah), yang maksudnya adalah pikiran manusia memahami secara langsung makna sebuah kata yang diucapkan oleh seseorang, hadirnya implikasi dari makna kata tersebut terkadang tidak menunjukkan keinginan pembicara.
2. Implikasi kebenaran (ad-dilâlah at-tashdiqiyah), implikasi ini yang menunjukkan kehendak pembicara (implikasi ini juga terbagi dua: penggunaan (al-isti'mâliyah) dan kesungguhan (aj-jiddiyah). Karena pembahasan kita berkenan dengan sifat berita maka ketika dalam al-Qur'an terdapat kata "mata" dan "tangan" tidak harus meninjau kata tersebut dari makna dasarnya semata (ad-dilâlah at-tashawwuriyah), sehingga pemaknaan "mata" dan "tangan" dikonsepsi sesuai dengan makna "mata" dan "tangan" yang ada pada kita, tetapi harus diperhatian pengertian keseluruhan pembicaraan (ad-dilalah at-tashdiqiyah), sebagai contoh ketika seseorang berkata, "Ketika sedang minum teh di restoran saya melihat asad, kata asad dalam bahasa Arab bermakna hewan pemangsa (singa), akan tetapi restoran bukanlah tempat bagi hewan seperti itu, oleh sebab itu kata "restoran" merupakan suatu konteks bahwa yang dimaksud asad adalah manusia yang mempunyai sifat hewan tersebut, yakni sifat keberanian. Dengan kata lain, pembahasan tersebut mempunyai hubungan dengan implikasi tashawwuriyah dan implikasi tashdiqiyah – dan dengan implikasi makna kata dan implikasi konteks kalimat – dan aturan dalam penafsiran tentang pembicaraan seorang pembicara adalah mengikuti implikasi tashdiqiyah dan konteks kalimatnya, bukan implikasi tashawwuriyah dan makna katanya, dalam contoh di atas maknanya adalah laki-laki pemberani (yakni implikasi maknanya bersifat tashdiqiyah dan konteks kalimat).
Di dalam menafsirkan seluruh ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat berita harus mengikuti metode tersebut di atas dan dengan penuh ketelitian meninjau suatu ayat yang termasuk salah satu dari sifat-sifat tersebut dengan menggabungkan dan mengelaborasi ayat-ayat yang serupa sehingga dapat menyampaikan pada maksud Tuhan, mungkin saja kita meninggalkan implikasi tashawwuriyah dan berpegang kepada implikasi tashdiqiyah.[6] Metode ini dapat kita simak dalam kalimat berikut ini: "Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya" dan kalimat "Tangan Tuhan di atas tangan-tangan mereka", kalimat pertama menafikan kematerian Tuhan dengan akal dan kalimat kedua dimakna kekuasaan Tuhan dengan implikasi tashdiqiyah.

Problematika yang berhubungan dengan sifat kesempurnaan ( ats-Tsubuti)
Dalam menyifatkan Tuhan dengan sifat tsubuti kita akan menghadapi tiga jenis problematika:

1. Ilmu dan kodrat yang terkandung dalam pengertian berilmu (âlim) dan berkuasa (qâdir), kedua sifat ini merupakan kategori kualitas jiwa. Dalam konteks ini, bagaimana kita menyifatkan Tuhan dengan kategori kualitas jiwa dimana termasuk salah satu dari bagian aksiden, padahal bukankah Tuhan lebih tinggi dan lebih mulia dari substansi dan aksiden?
2. Di mana saja kita sifatkan suatu maujud dengan kedua sifat tersebut (âlim dan qâdir) maka pemahaman umumnya adalah subyek mempunyai dzat dan sifat ilmu dan kodrat, dan kemestian dari penyifatan tersebut adalah terangkapnya Tuhan dari dzat dan sifat, sedangkan rangkapan pertanda kebutuhan, sementara kebutuhan adalah keniscayaan dari makhluk (mumkin al-wujud) yang merupakan lawan dari Wâjib al-wujud.
3. Sebagian dari sifat-sifat tsubuti, seperti mendengar (samî') dan melihat (bashîr) memerlukan media-media materi, lantas bagaimana kita bisa menisbahkan Tuhan dengan sifat-sifat tersebut? Dan hal ini juga bertentangan dengan rumusan tauhid dimana Tuhan suci dari aspek-aspek materi.
Para teolog Islam sepakat bahwa seluruh sifat yang dialamatkan kepada Tuhan sebenarnya dimaksudkan untuk menggambarkan suatu realitas yang berada di luar akal manusia. Bahasa agama adalah bahasa umum (bahasa yang dipakai dan dipahami secara umum), dan proposisi-proposisi yang terdapat dalam teks suci agama bukanlah sesuatu yang bersifat ambiguitas dan bukan bahasa syair (maksudnya bahasa yang muncul dari daya khayal manusia) serta bukan pula suatu cerita legenda.
Dan jika kita menemukan problematika, maka dapat dipecahkan dengan bantuan potensi yang dimiliki akal pikiran, mukasyafah (pencapaian spiritual) hati dan elaborasi ayat serta riwayat. Misalnya pandangan mereka terhadap persoalan pertama dalam sifat tsubuti adalah bahwa ketika Tuhan disifatkan dengan sifat-sifat seperti berilmu dan berkuasa, tidak mesti sifat-sifat tersebut dikonsepsi sebagai suatu aksiden dan kualitas jiwa, akan tetapi dikarenakan keagungan dan ketinggian eksistensi-Nya, maka ilmu dan kodrat adalah terwujud dengan sendirinya (swa-wujud) dan dzat Tuhan itu sendiri identik dengan ilmu dan kodrat. Orang awam, menggunakan bahasa agama dalam pemahaman umum tanpa memperhatikan problematika dan kekurangan yang ada, para filosof dan teolog dalam pembicaraan sehari-hari juga menggunakan cara masyarakat umum, tetapi dalam burhan dan argumentasi melakukan pendekatan khusus (pendekatan ilmu).
Tentang problematika kedua, adalah benar bahwa berilmu dan berkuasa dalam bahasa Arab bermakna dzat yang disertai dengan ilmu dan kodrat, tetapi dari segi argumentasi akal, Tuhan adalah wujud murni dan antara dzat Tuhan dan sifat-sifat-Nya tidak terdapat dualitas, maka harus dikatakan bahwa sifat tersebut terwujud dengan sendirinya (swa-wujud) dan tidak bersifat aksiden pada dzat (tak menempel pada dzat). Filosof dan teolog menyifatkan Tuhan dengan makna bahasa yang digunakan orang-orang awam dan tanpa melakukan perubahan dalam makna tersebut, dan argumentasi rasionallah yang mengantarkan mereka pada pengertian dan pemaknaan yang lebih tinggi dan lebih sempurna dari pemahaman-pemahaman umum. Dan pemahaman yang lebih tinggi tidak mesti melakukan intervensi dan perubahan dalam penggunaan kata; namun mungkin saja orang-orang menyifatkan Tuhan tapi tidak memperhatikan bahwa ilmu merupakan kategori kualitas (salah satu bagian dari aksiden) dan menempel pada dzat dan juga ia menyifatkan Tuhan dengan sifat tersebut tanpa memperhatikan konsekuensi konklusi argumentasi, oleh sebab itu ketika dibahas secara rasional maka muncullah problematika-problematika tersebut.
Adapun tentang problematika ketiga disebutkan bahwa kekhususan-kekhususan partikular tidak mesti dipandang sebagai batasan dan mahiyah dari sifat-sifat tersebut. Kekhususan-kekhususan tersebut memiliki pengertian tertentu dan bukan merupakan inti makna, sebab aktualitas dan hakikat mendengar (samî') dan melihat (bashîr) adalah kehadiran sesuatu yang didengarkan di sisi yang mendengar dan kehadiran yang dilihat di sisi yang melihat, kendatipun dalam hal ini tidak melibatkan dan menggunakan alat dan media materi. Dan berasaskan konsep tauhid, yang telah ditetapkan oleh para filosof Islam bahwasanya dzat Tuhan adalah basith (bersifat mencakup dan meliputi segala sesuatu), maka dalam hal ini tidak ada makna kehadiran materi di sisi materi atau kehadiran sesuatu di sisi sesuatu (berbeda dengan manusia yang membutuhkan sesuatu yang lain sebagai media dalam meraih sesuatu).

Analisa Sifat-sifat dalam Hikmah Muta'aliyah
Mulla Shadra, dalam kitab Asfar jilid keenam, membahas segala permasalahan yang berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan. Langkah pertama yang ia lakukan adalah membagi sifat-sifat, ia berkata, "Sifat-sifat terbagi menjadi sifat sempurna yang tetap (îjâbi tsubûti) dan sifat tak sempurna yang tertolak (salbî taqdîsi), dimana kitab suci mengungkapkan kedua sifat tersebut, "Maha suci nama Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan", sifat jalaliyah adalah mensucikan dzat-Nya dari segala keserupaan dengan yang lain dan dzat suci Tuhan lebih agung dan lebih tinggi dari apa-apa yang disifatkan terhadap-Nya, sifat Mulia (ikrâm) adalah suatu sifat yang "dengannya" Tuhan memuliakan diri-Nya sendiri, dan kesimpulannya adalah pemilik kesempurnaan tersebut adalah pemilik kemuliaan.[7]
Selanjutnya sifat-sifat kelompok pertama (salbî taqdîsi) merupakan negasi terhadap segala kekurangan dan ketiadaan, serta menekankan bahwa seluruh sifat-sifat tersebut kembali kepada satu penegasian yaitu negasi kebergantungan (menolak segala sifat yang implisit menceritakan tentang kebergantungan Tuhan), sifat-sifat tersebut jika ditinjau sebagai negasi dalam negasi maka kembali bermakna afirmasi.
Sifat-sifat kelompok kedua (sifat tsubûti) juga terbagi atas dua jenis: 1) sifat hakikat (hakikiyah) seperti ilmu, hidup dan…, 2) sifat tambahan (idhâfiyah) seperti pencipta, pemberi rezki dan…. Kemudian seluruh sifat-sifat hakiki kembali kepada sifat keniscayaan wujud (wujubul wujud) dan seluruh sifat tambahan dikembalikan kepada satu sifat tambahan (idhâfah) yaitu sifat tambahan kepenciptaan (qayyumiyah). Oleh karena itu:

1.Seluruh sifat-sifat salbî dikembalikan kepada satu penegasian yakni negasi kebergantungan dan kebergantungan itu sendiri mempunyai makna negasi, jadi negasi kebergantungan adalah negasi negasi (kebergantungan) yang hasilnya adalah afirmasi.
2.Negasi negasi tersebut yang kembali kepada sifat afirmasi yang sumbernya adalah intensitas wujud yang kuat.
3.Seluruh sifat-sifat afirmasi hakiki juga kembali kepada satu sifat yaitu sifat keniscayaan wujud (wujubul wujud), dimana sifat ini juga bersumber dari intensitas wujud yang kuat.
4.Seluruh sifat-sifat afirmasi tambahan (idhâfi) kembali kepada sifat kepenciptaan (qayyumiyah), dimana sifat ini juga berdiri tegak pada wujubul wujud.
Konklusi dari analisa dan uraian di atas bahwa wujubul wujud merupakan prinsip dan asas utama bagi seluruh sifat-sifat jalal dan jamal Tuhan serta tidak ada jalan bagi multiplisitas dan kejamakan dzat suci Tuhan.
Mulla Shadra juga mempunyai pembagian lain terhadap sifat-sifat, ia berkata, "sifat-sifat dibagi menjadi sifat yang terinderai dan sifat yang terkonsepsi dengan akal, dan kedua bagian tersebut masing-masing terbagi lagi menjadi sifat yang identik dengan yang disifati dan tidak identik dengan yang disifati. Sifat yang pertama[8] seperti kebersambungan untuk materi, sifat yang kedua[9] seperti sifat hitam untuk materi, sifat yang ketiga[10] seperti keberilmuan untuk akal dan sifat yang keempat[11] seperti keberilmuan untuk manusia.[12]
Adapun sifat-sifat Tuhan bukan dari jenis sifat-sifat yang terinderai sebagaimana anggapan aliran Mujassimiyah dan Musyabbihiyah dan juga bukan dari jenis sifat-sifat yang mengaksiden (menempel) pada dzat sebagaimana pandangan Asy'ariyyah serta tidak sebagaimana konsep keterpisahan sifat dari dzat sebagaimana gagasan Karrâmiyyah. Selanjutnya Mulla Shadra mengungkapkan bahwa eksistensi (wujud) yang mempunyai satu hakikat tetapi pada saat yang sama juga terdapat multiplisitas dan keragaman wujud yang bergradasi yang meliputi wujud materi hingga wujud non materi atau mumkin al-wujud (keseluruhan wujud selain Tuhan) dan Wâjib al-Wujud (Tuhan).
Kesempurnaan-kesempurnaan eksistensi juga seperti tersebut di atas, karena semua sifat-sifat kesempurnaan jika ditinjau dari segi pengertian dan komprehensinya maka bersifat univokal (musytarak maknawi)[13] dan bukan homonim atau equivokal (musytarak lafzhi), tetapi kalau dipandang dari sudut individu-individu luarnya (misdaq, extensi) maka sifat-sifat tersebut adalah berbeda dan bergradasi.[14]
Oleh karena itu, sebagaimana dalam kaidah eksistensi (ontologi) bahwa perbedaan dalam individu-individu luar tidak menyebabkan timbulnya perbedaan dalam pengertian (komprehensi) eksistensi sehingga bersifat homonim (musytarak lafzhi).
Berkenan dengan masalah ini, Mulla Shadra mengungkapkan persoalan ilmu sebagai contoh, ia menyatakan bahwa hakikat ilmu adalah satu dimana defenisinya adalah hadirnya yang diketahui (ma'lûm) di sisi yang mengetahui (âlim), hakikat ilmu ini teraktual dalam bentuk sifat kesempurnaan bagi individu-individu makhluk tapi dzat makhluk berbeda dengan sifat ilmu tersebut, hal ini berbeda dengan Wâjib al-Wujud dimana pada tingkatan dzat-Nya adalah identik dengan seluruh sifat-Nya tapi seluruh sifat tersebut masing-masing memiliki pengertian yang berbeda.[15]

b. Teori dari Para Teolog dan Filosof Masehi Barat

Setelah mengenal karakteristik-karakteristik bahasa agama dalam sudut pandang filsafat dan teologi Islam, sekarang kita berusaha mengungkapkan apa yang dilukiskan tentang bahasa agama dari kalangan filosof dan teolog Kristen Barat sehingga kita juga dapat mengenal kekhususan-kekhususan bahasa agama yang terdapat dalam teologi dan filsafat Kristen.

1. Teori Analogi Thomas Aquinas
Thomas Aquinas, teolog dan filosof besar Masehi, dalam masalah bahasa agama berpijak pada teori analogi. Ia menjelaskan bahwa sifat-sifat dan predikat-predikat yang dinisbahkan kepada Tuhan seperti adil, ilmu dan kuasa juga berlaku bagi makhluk-makhluk; sebagamana dalam ayat 13 dan 14 bab ketiga kitab Taurat, Tuhan disifatkan dengan eksistensi, dan makhluk-makhluk juga tersifatkan dengan sifat ini. Tetapi predikat-predikat ini untuk masing-masing dua subyek tidak dapat digunakan dalam bentuk equivokal (homonim, musytarak lafzhi) dan univokal (musytarak maknawi); misalnya antara keadilan Tuhan dan keadilan manusia yang mempunyai hubungan dan keserupaan, sementara predikat adil tersebut tidak equivokal, dan dari dimensi bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di antara Tuhan yang tidak terbatas dan manusia yang terbatas maka predikat tersebut juga tidaklah univocal. Dalam hal ini Aquinas memperlihatkan suatu bentuk analogi dalam penggunaan yaitu keserupaan yang identik dengan perbedaan dan perbedaan yang identik dengan keserupaan, ia membolehkan penggunaan satu kata dalam dua wilayah yang berbeda.[16]
Demikian pula ungkapan Gilson, sebuah kata dalam bentuk univokal yang dipredikasikan kepada subyek sebagai genus, difrensia atau aksiden atas subyek itu, akan tetapi tidak satupun dari predikat-predikat tersebut (dengan makna tersebut) dinisbahkan kepada Tuhan. Dalil dari konklusi tersebut dapat ditemukan dalam esensi hubungan yang berlaku di antara maujud-maujud lain dengan Tuhan… Tuhan identik dengan eksistensi. Setiap yang ada pada Tuhan bersumber dari keniscayaan dzat-Nya, sementara apa yang ada pada maujud-maujud lain diperoleh dari jalan partisipasi. Seluruh kesempurnaan secara hakiki dan esensial disandarkan kepada Tuhan sementara untuk maujud-maujud lain hanya dipredikasikan secara aksiden. Dari sisi lain, kita tidak dapat memandang bahwa di antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya terdapat pertentangan dan perbedaan yang eksitrim, dalam bentuk bahwa sifat-sifat tersebut hanya digunakan dalam bentuk homonim. Pandangan ini menurut James Ross menjatuhkan manusia ke dalam jurang penyerupaan (tasybih) dan mematikan rasionalisasi (ta'thil).[17]
Thomas Aquinas mengungkapkan teori analogi dan menafikan homonim serta univokal di antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya sesudah menerima bahwa statmen-statmen keagamaan bermakna dan bersumber dari realitas.
Problem mendasar dari teori di atas tidak lain adalah ia (Thomas Aquinas) menyangka bahwa jika kita menerima univokal sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat manusia maka akan terperangkap pada penyerupaan dimana kesatuan makna terimplikasi dari kesatuan individu, dengan kata lain terjadi ia menyamakan antara pengertian (komprehensi) dan individu luar (misdaq). Namun sebagaimana dalam pembahasan Mulla Shadra yang berkenan dengan masalah ini, homonim tidak akan menyebabkan penyerupaan, alasan yang utama dalam konteks ini adalah terdapat perbedaan individual antara Tuhan dan makhluk walaupun terdapat kesamaan makna antara keduanya.

2. Teori Positivisme Logikal
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mengalami banyak perubahan mendasar dalam perjalanan sejarahnya. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Francis Biken seorang filosof berkebangsaan Inggeris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.
Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran. Kesimpulan pandangan ini adalah agama dan filsafat (proposisi-proposisi agama dan filsafat) ambiguitas dan tidak bermakna, karena menurut kaum positivisme syarat suatu proposisi memiliki makna adalah harus bersifat analitis, yakni predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian dipredikasikan atas subyek itu sendiri dan kebenarannya lahir dari proposisi itu sendiri serta pengingkarannya menyebabkan kontradiksi, atau mesti bersifat empiris, yakni melalui proses observasi dan pembuktian.
Dengan demikian, sebagaimana ungkapan Kornop – salah seorang anggota dari Lingkaran Wina – dalam suatu risalah berjudul "Menolak metafisika dengan analisis logikal teologi", kalimat-kalimat yang mengungkapkan perasaan (affective), seperti: alangkah indahnya cuaca! Atau pertanyaan, seperti: Di manakah letak kota Qum? Atau kalimat-kalimat perintah, metafisika dan agama, karena kalimat-kalimat dan proposisi-proposisi tersebut tidak melewati proses observasi dan eksprimen maka serupa dengan proposisi-proposisi yang tidak benar (bohong).
Kaum Positivisme, seiring dengan perjalanan waktu, mengubah pandangannya yang ekstrim dan perlahan-lahan tidak menegaskan kemestian pembuktian dan eksperimen dalam menguji kebenaran suatu proposisi dan bahkan eksprimen tidak lagi dijadikan tolok ukur kebenaran proposisi. Mereka menyadari bahwa jika tolok ukur kebenaran (memiliki makna) proposisi-proposisi adalah melewati proses pembuktian dan eksperimen, maka sangat banyak proposisi-proposisi empiris yang tidak akan bermakna (tidak benar), karena tidak dapat dibuktikan secara yakin (100%). Mazhab filsafat ini dalam bagian lain mengakui bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat realitas – dalam bentuk pembuktian, penegasan, dan bahkan pembatalan – tetapi hanya sebatas pemuasan akal.[18]
Kesimpulan dari semua pandangan kaum Positivisme adalah bahwa proposisi-proposisi agama yang karena tidak melewati observasi dan eksprimen maka tidak dikategorikan sebagai makrifat dan pengetahuan yang bermakna (baca: proposisi agama tidak benar) dan bahasa agama karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara eksprimen, maka tidak menjadi makna yang dapat diperhitungkan.
Mazhab Positivisme mendapatkan kritikan dan sanggahan yang berat dari pendukung-pendukungnya sendiri, seperti Wittgenstein dan Poper, dibawah ini akan diungkapkan sebagian dari kritikan-kritikan mereka:

1.Teori evolusi dan tiga tahapan dari Agust Comte sama sekali tidak memiliki bukti sejarah yang otentik dan argumen keilmuan yang akurat, landasan ketidakbenaran teori tersebut adalah karena menghubungkan tahapan-tahapan sejarah dari sistem masyarakat Eropa pada zaman itu dan kemudian menggeneralisasikan pada seluruh tahapan sejarah dunia. Di samping itu, dalam filsafat ilmu kontemporer para ilmuwan telah membahas dan mengkaji tentang kebutuhan ilmu terhadap filsafat dan pengaruh metafisika terhadap teori-teori ilmu.
2.Demikian pula asas Positivisme tentang tolok ukur kebenaran proposisi yang menetapkan bahwa proposisi hanya memiliki makna (kebenaran) apabila dapat dieksperimenkan dan diobservasi. Dan proposisi-proposisi yang non-empiris dikatakan tidak bermakna sebenarnya tidak berangkat dari asas analisis dan tautologi (kebenaran tampak dari dirinya sendiri) dan juga bukan berdasarkan sintetis yang dapat dibuktikan dengan penyaksian dan eksperimen.
3.Kaum Positivisme memandang bahwa seluruh proposisi-proposisi metafisika tidak bermakna; padahal sebagian dari proposisi tersebut bersifat analitik, seperti: setiap akibat membutuhkan sebab; sedangkan menurut mereka proposisi-proposisi analitik adalah bermakna.
4.Menurut mazhab ini, secara prinsipil proposisi-proposisi agama tidak sampai pada tahapan yang benar dan bohong, oleh karena itu, penegasian benar dan bohong dari pendukung mazhab ini yang dinisbahkan terhadap proposisi-proposisi agama adalah tidak bermakna.
5.Kritikan kita yang paling mendasar terhadap Positivisme adalah menyangkut masalah-masalah yang prinsipil dan berasas. Di samping kita mengakui kebenaran metode empiris juga memandang sah metode logikal dan rasional dalam meraih makrifat. Kita memandang benar semua metode logikal, rasional, syuhudi, naqli (teks suci)[19] dan sejarah.[20]
Setelah kami menampilkan dua bentuk pendekatan dan teori terhadap bahasa agama yang terdapat dalam teologi dan filsafat Kristen dan Barat, untuk tidak larut dalam pembahasan yang berkepanjangan, maka kami cukupkan pengenalan terhadapnya dengan menggunakan dua pendekatan dan teori tersebut. Kendatipun pada hakikatnya pembahasan bahasa agama yang ada pada teologi dan filsafat Kristen dan Barat ini adalah jauh lebih luas serta sangat kompleks (masih terdapat berbagai aliran dan pandangan, seperti teori analitik bahasa, teori simbolik, teori permainan bahasa (language game) dan…), bahkan boleh dikatakan bahwa hingga sekarang ini, pembahasan tersebut belum tuntas dan masih belum ditemukan pemecahannya yang akurat yang bebas dari berbagai kelemahan dan kritikan.
Adapun dalam teologi dan filsafat Islam meskipun pembahasan ini tidak begitu luas dan tidak terdapat berbagai aliran dan pandangan, akan tetapi berkat kemurnian dan keorisinalan ajaran Islam (kitab suci al-Qur'an) serta ilham dan petunjuk yang didapatkan oleh para teolog dan filosof Islam dari kitab suci tersebut sehingga menyebabkan pandangan dan pemikiran mereka dalam masalah ini mengarah pada kesatuan dan keselarasan universal (misalnya mereka berpandangan bahwa proposisi-proposisi agama adalah bermakna), walaupun masih terdapat perbedaan secara partikular, misalnya perdebatan tentang sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya apakah bersifat homonim atau univokal.[]



________________________________________
[1] . Amir Abbas Ali Zamani, Zabône Dîn; dalam bentuk pengungkapan pertanyaan-pertanyaan dan penganalisaan serta penguraian jawaban-jawaban yang berhubungan dengannya.
[2]. Setiap dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, telah diberikan jawabannya oleh pemikir dan penulis muslim dan bukan muslim, yang dalam tulisan terbatas ini tidak akan diuraikan, maka dari itu untuk memahami topik urgen ini perlu merujuk pada kitab-kitab yang membahas tentang "bahasa agama".
[3] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 329-330.
[4] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 330.
[5] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal.330.
[6] . Izzuddin Reza Nezyood, Kalâm-e Tathbîqi, hal. 96-97.
[7] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 118.
[8] . Sifat yang terinderai yang identik dengan yang disifati
[9] . Sifat yang terinderai tapi tidak identik dengan yang disifati.
[10] . Sifat yang terkonsepsi dengan akal yang identik dengan yang disifati.
[11] . Sifat yang terkonsepsi dengan akal tapi tidak identik dengan yang disifati.
[12] . Shadruddin syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 123.
[13] . Lihat makalah kami yang berjudul Shirful Wujud.
[14] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 124-125.
[15] . Ibid, hal. 125.
[16] . Akli wa I'tiqad-e Dîni, Michael Peterson, penerjemah: Ahmad Naraqi. Hal. 256-257.
[17] . Kalam Jadîd, Abdul Husain Khusru Panoh, hal.332.
[18] . Abdul Husain Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 334 -335.
[19] . Dalil-dalil yang bersumber dari teks-teks suci agama, seperti hadis Nabi dan kitab suci al-Qur'an, Injil, Taurat dan lain sebagainya.
[20] . Abdul Husain Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 336.

HANS-GEORG GADAMER

1. Pengantar

Hans-Georg Gadamer mahaguru pada Universitas Heidelberg, berasal dari lingkungan Marburg yang pada waktu itu sering mengalami disintegrasi. Gadamer “mencari orientasi baru dalam satu dunia yang kehilangan orientasi”.

Latar belakang pendidikan formalnya adalah studi bahasa-bahasa dan kebudayaan klasik serta filsafat. Selain dipengaruhi oleh Heidegger, Gadamer juga dipengaruhi oleh Plato, beberapa tema Neo-Kantianisme, Hegel (khuhsusnya dalam negativitas pengalaman). Gadamer juga melihat adanya kesinambungan Neo-Kantianisme dengan fenomenologi Husserl. Namun, perluh dicatat bahwa hermeneutika Gadamer kendati dekat dengan Hegel, tidak bertolek dari subjektivisme yangb kimplisit pada Hegel dan semua metafisika sebelum Heidegger. Meskpun dekat dengan Plato, Gadamer tidak mengendalikan doktrin ide Plato maupun konsepsinya tentang kebenaran dan bahasa.

Gadamer melihat fenomena hermeneutika pada dasarnya sama sekali bukan suatu masalah metode. Degan demikian, tujuan penelitiannya bukan pula suatu Methodenlehre yang sekadar masalah merumuskan logika yang dipakai dalam berbagai bidang kegiatan megetahui. Tujuannya juga bukan menyusun suatu teori umu interpretasi.

Hermeneutika dipandang sebagai suatu teori pengalaman yang sesungguhnya, sebagai suatu usaha filsafati untuk mempertanggungjawabkan suatu pemahaman, dan sebagai suatu proses ontologis di dalam manusia. Ia berpendapat bahwa tugas yang paling fundamental hermeneurika tidaklah mengembangkan suatu prosedur pemahaman, tetapi meneliti “apa yang selalu terjadi” manakala kita memahami. Hermeneutika adalah pnelitian semua pengalaman pemahaman. Gadamer merumuskan pemahaman sebagai sutu masalah ontologis.

2. Fenomena Pemahaman

Hemeneutika adalah memasuki diskusi dengan teks dari masa lalu. Oleh karena itu, masalah sentral hermeneutika adalah masalah konfortasi atau perjumpaan masa-kini dan masa-lalu, atau yang disebut juga masalah penerapan (applicatio). Jarak waktu menciptakan “posisi anatara” yang menjadi kancah hermeneutika. Posisi diantara yang asing dan yang dikenal berada di antara yang dimasud di waktu tertentu dalam sejarah dan ketermasukannya pada suatu tradisi.

Konfrontasi atau perjumpaan ini tidak dapat dihindari, tatapi sejauh mungkin justru harus disadari pristiwanya, kejadiannya, tidak dengan mengeluarkan masa kini, melainkan dengan sadar memainkan sehingga arti sesungguhnya dari teks atau fakta berbicara. Dengan ini, bagi Gadamer, hakikat hermeneutika adalah ontologi dab fenomenologi pemahaman. Yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya.

Sejalan dengan tesis Heidegger yang mengatakan bahwa Ada secara radikal historikal sifatnya, begitu juga pula Gadamer mengatakan bahwa pwmwhaman bersifat historikal. Hal ini berarti bahwa pemahaman, bahkan manusia itu sendiri dikuasai oleh sejarah. Karena “agaknya tidak dapat diragukan lagi bahwa cakrawala besar masa-lalu tempat kebudayaan dan masa-kini kita hidup, memengaruhi kita dalam setiap hal yang kita maui, kita harapkan atau kita takutkan dan kita khawatirkan di masa-depan”. Sejarah dan masa-lalu adalah suatu struktur dengan pemahaman (juga pengetahuan, pikiran) kita. Gerak historikal merupakan inti pemahaman. Umumnya tanpa disadari, pemahaman adalah hasil interaksi masa-lalu dan masa-kini.

Juga oleh gerak historikalnya, jika pemahaman adalah prosesual. Selalu mengadakan reviosi adalah ciri hakiki pemahaman. Berkat derap perjalanna waktu, senantiasa akan terdapat aspek-aspek baru yang lagi terbebaskan dan tampil ke permukaan sehingga setiap interpretasi baru dapat dipandang sebagai pontensialitas-pontensialitas data tradisi.

Pemahaman adalah dinamika dasar wujud manusia, bukan perbuatan subjektivita. Pemahaman adalah suatu modus keberadan, bukan sesuatu yang seseorang lakukan di antara berbagai hal yang ia kerjakan. Pemahaman adalah sebagian dari faktisitas, ia mengalir dari kenyataan wujud manusia. Jadi pemahaman bukan proses subjektif manusia dihadapkan dengan suatu objek, bukan suatu metode objektivikasi. Pemahaman bukan suatu pencarian keterangan tentang suatu objek.

Gadamer merekonsepsikan pemahaman sebagai bersifat partisipatorik pada suatu warisan budaya. Pemahaman masuk dalam peristiwa transmiri yang masa-lalu dan masa-kini senantiasa sedang diperantarai. Inilah, menurut penegasan Gadamer, hal yang harus diterima di dalam teori hermeneutika, yang terlalu dikuasai oleh ide prosedur, metode.

Kunci bagi pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Dialetika bukan metodologi. Metode bukan menuju jalan kebenaran. Metode cenderung memprastrukturkan cara memandang. Metode hanya mampu membuat eksplisit macam kebenaran yang sudah implisit di dalam metode. Tujuan dialetika adalah agar kenyataan yang dijumpai menyikapi diri. Hermeneutika dialetik membuka diri untuk ditanyaai oleh kenyataan sendiri, sehingga kenyatan yang dijumpai menyatakan diri. Realisasi arti, realisasin komunikasi, realisasi pemahaman tersebut bersifat spekulatif karena kemungkinan-kemungkinan yang terbatas dari kata diorentasikan kepada arah makna yang dimaksudkan, pada yang tidak terbatas. Yang dialetikal adalah ekspresi yang spekulatif, representasi dari hal yang benar-benar termuat dalm yang spekulatif. Representasi tersebut adalah tampiln ya kenyataan itu sendiri. Oleh karena itu, hermeneutika Gadamer adalah hermeneutika diletika-spekulatif.

Jadi, hermeneutika tidak berusan dengan subjektivitas pencipta atau pengarang, juga tidak berurusan dengan situasi historikalnya. Perhatian hermeneutika adalah masalahnya dan linguisstiknya. Pokok sasaran adalah kebnaran ini. Suatau teks niscaya dipahami tidak sebagai pernyataan atau ekspresi hidupan, tetapi sebgai apa yang dikatakan. Pemaham diarahkan kepada Ada, bukan pada manusia atau sesuatu dibalik teks. Karena bukan dari hasil metode, pemahaman tidak berurusan dengan masalah benar atau tidak benar, bukan pula masalah kesesuaian (koerespondensi). Kebenarannya adalah masalah penyikapan Ada. Dengan hermeneutikanya, Gadamer bermaksud mengambilkan pemahaman akan merupakan arah dari Ada.

Berdasarkan historikalitas keberadaan kita, reproduksi kondisi-kondisi orisional suatu karya merupakan usaha yang tidak berguna. Karena arti senantiasa melampaui jiwa pencipta. Arti tidak ditentukan atau diterakan oleh pengarang. Arti suatu teks melampaui pemahaman penciptanya tidak hanya kini, tetapi selalu. Pemahaman bukann sekadar suatu kegiatan peproduktif, tetapi juga kegiatan produktif. Seseorang hanya memahami kalau ia memahami secara berbeda.

Pemahaman adalah salingh memahami hingga sampai pada kesepahaman. Dalam hermeneutika, dalam saling berembuk, bertumbuhlah masalah yang dibicarakan. Tetapi, penting utnuk dicatat bahwa masalah tersebut belum adalah sebelum proses hermeneutika. Yang terjadi dalm hermeneutika bukanlah menambah sini atau mengurangi sana. Masalahnyan untuk pertama kali jelas baru dalam proses hermeneutika tersebut. Dengan demikian, sebagaimana Heidegger, Gadamer dengan konsep pemahamannya memberi tempat pada unsur-unsur yang terlepas dari kategori-kategori logika. Yang berarti pula bahwa yang dipahami tidak secara penuh dikuasai. Pemahaman akan sesuatu tidak pernah tuntas karena selalu terdapat kemungkinan-kemungkinan baru pemahaman dan kemungkinan-kemungkinan pembaharu. Dasarnya adalah tradisi.

Bagi Gadamer, manusia berada lewat dan di dalam tradisi. Ia dengan jelas melihat bahwa situasi sebenarnya saat pemahaman terjadi selalu berupa pemahaman lewat bahasa dan dalam tradisi. Dengan pemahaman sebagai peristiwa linguistikal dari tradisi, masalah pengartian dapat didekati dengan lebih luasa.
Tradisi adalah Engkau, bukan suatu substansi, bukan benda maka tidak dapat dilihat dan diperluhkan sebagaimana orang melihat atau memperlakukan benda. Tradisi adalah proses yang menyatu dengan eksistensi manusia. Kita senantiasa berdiri di dalam tradisi. Dengan demikian untuk pemahaman teks, kita harus memasuki tradisi yang sama dimiliki oleh teks prasyarat. Partisipasi pada warisan budaya yang mencakup sesuatu yang akan dipahami merupakan prakondisi pemahaman.

TAFSIR



SURAT AN-NISA’ 79

Ayat 79

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.”

Di sini Tuhan menyebut engkau, bukan hanya ditujukan kepada Rasul saja, melainkan kepada diri tiap-tiap orang yang mukallaf. Rasul hanya jadi perantara untuk menyampaikan. Yaitu bahwasanya nikmat dan rahmat Allah cukuplah diberikan kepada manusia di ala mini. Tidak ada yang kurang. Sehingga pada asalnya, semuanya adalah baik. Tuhan tidak memberikan yang buruk. Bahkan telah banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa segala sesuatu di alam ini disediakan untuk manusia. Apalagi manusia diberi akal dan disuruh berusaha. Maka jika manusia gagal, maka itu adalah dari diri manusia itu sendiri. Baik karena kesia-siaan, atau masih belum tahu dan belum berpengalaman. Yang terlebih-lebih wajib dijaga oleh manusia adalah supaya dia mensyukuri nikmat Allah.

Kesalahan yang paling besar ialah kalau tidak mensyukuri nikmat. Jiwamu “terbelakang” walaupun telah berlimpah nikmat Allah kepada kamu, namun oleh karena kamu tidak mengenal apa yang disebut dengan syukur nikmat, kamu akan tetap mengeluh. Oleh karena itu janganlah menimpakan kesalahan kepada orang lain, tetapi selidikilah penyakit yang ada dalam jiwamu sendiri.

“Dan kami telah utus kepada manusia seorang rasul.” Maka Rasul itu telah mengajarkan kepada kamu jalan yang baik, cita-cita yang mulia mnegeluarkan kamu dari gelap gulita kepada terang benderang. Selamatlah kamu kalau ajarannya kamu ikuti dan sengsaralah kamu karena tidak menaatinya, bahkan masih meragukan, dan mengeluh.

“Dan cukuplah Allah sebagai penyaksi.” Artinya cukuplah Allah yang menjadi saksi, wahai utusanKu! Allah menjadi saksi bahwa amanat itu telah engkau tunaikan dengan baik. Yaitu memimpin manusia menuju jalan yang benar. Malah penderitaan engkau lebih banyak dan engkau teguh hati, pantang mundur sehingga senanglah Allah menyaksikan segala gerak-gerikmu. Dan tuduhan si lemah iman bahwa jika mereka ditimpa kesusahan, adalah sebab kesalahanmu, tidak lain hanyalah karena kebodohan dan kedangkalan berfikir mereka juga adanya.[1]

Sedangkan dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthub menghubungkan ayat 79 an-Nisa’ ini dengan persoalan “qadha’ dan “qadar” atau “jabar” dan “ikhtiyar”. Sesungguhnya Allah telah membuat manhaj (aturan), membuat jalan, menunjukkan kepada kebaikan, dan melarang keburukan. Maka apabila manusia mengikuti manhaj, menempuh jalan ini, berusaha melakukan kebaikan, dan menjauhi keburukan, niscaya Allah akan menolongnya untuk mendapatkan petunjuk sebagaimana firman-Nya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami …” (al-‘Ankabut : 69).

Apabila manusia tidak mengikuti manhaj yang telah dibuat Allah, maka ketika itu dia mendapatkan kejelekan yang sebenarnya, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kejelekan ini adalah dari dirinya sendiri.[2]

Terwujudnya kebaikan dan kejelekan itu tidak lain kecuali dengan kekuasaan dan qadar Allah, karena dialah yang mengadakan segala sesuatu, yang mengadakan segala yang terjadi, dan menciptakan segala yang ada apa pun kehendak dan tindakan orang yang bersangkutan terhadap apa yang terjadi itu.

Sedangkan urusan manusia terhadap Rasul ialah bahwa orang yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah swt. Maka ia tidak memisahkan antara Allah dan Rasul-Nya; antara firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Bagi orang yang berpaling dan mendustakan, urusan hijab dan pembalasannya terserah kepada Allah.[3]

SURAT AL-AN’AM

Ayat 22

وَيَوْمَ نَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ نَقُولُ لِلَّذِينَ أَشْرَكُوا أَيْنَ شُرَكَاؤُكُمُ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ

“Dan (ingatlah), hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka semuanya kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dulu kamu katakan (sekutu-sekutu) kami?".

Kalaupun di dunia ini mereka belum merasakan akibat penganiayaan itu, maka suatu ketika pasti mereka akan menyesal, yakni pada hari kiamat nanti. Kerena itu ingatlah, kebohongan mereka terhadap Allah di dunia ini, ingatlah itu pada hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka semua secara paksa dan dalam keadaan hina dina, baik Ahl al-Kitab maupun kaum musyrik serta apa yang mereka persekutukan dengan Allah, berhala-berhala, kemudian Kami melalui para malaikat berkata kepada orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu, baik berhala, manusia, maupun cahaya atau gelap, bahkan sembahan apa saja: Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dulu kamu kira dan akui secara lisan dan pengalaman sebagai sekutu-sekutu Kami? Mintalah kepada mereka agar membantu dan menyelamatkan kamu dari siksa yang sedang dan akan kamu hadapi. Sungguh aneh sikap mereka ketika itu lagi jauh dari apa yang dapat dibayangkan, sebagaimana dipahami dari kata kemudian. Betapa tidak aneh, pada hari terbukanya segala tabir dan tersingkapnya segala kebohongan, mereka tetap berbohong. Hal ini dikarenakan ketika itu pikiran mereka demikian kacau sehingga tiadalah fitnah mereka yakni jawaban dan ucapan ngawur yang tidak berdasar dari mereka, kecuali mengatakan: Demi Allah, Tuhan kami, demikian mereka berbohong dengan berkata kami tidak mempersekutukan Allah. Bukankah ketika di dunia mereka mempersekutukan-Nya?[4]

Ayat ini dapat juga dihubungkan dengan yang lalu dengan menjadikan ayat di atas sebagi jawaban dari satu pertanyaan yang timbul dalam benak siapa yang mendengar ayat yang lalu menyatakan bahwa tidak berbahagia orang-orang yang zalim. Seakan-akan ada yang bertanya: bagaiman mereka tidak akan bahagia? Pertanyaan ini jawabnya: itu disebabkan karena kelak di Hari Kemudian Allah akan menggiring mereka ke Padang Mahsyar dan meminta pertanggungjawaban atas dosa-dosa mereka, khususnya menyangkut persekutuan terhadap Allah.

Seperti terbaca di atas kata جَمِيعًا semua, mencakup penyembah dan yang disembah selain Allah. Itu sebabnya lanjutan ayat menyatakan kemudian kami berkata kepada orang-orang musyrik, bukan menyatakan Kami berkata kepada mereka. Dihimpunnya yang disembah dan penyembah ditegaskan pula dalam Q.S. as-Shaffat : 22 (kepada malaikat diperintahkan): “kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta mereka dan sembahan-senbahan yang selalu mereka sembah.”

Dihimpunnya para sembahan-sembahan itu, untuk lebih menampakkan kehinaan dan kerendahan serta ketidakberdayaan mereka, untuk membuktikan bahwa walau sembahan-sembahan itu hadir di hadapan mereka, namun mereka sedikit pun tidak dapat membantu, bahkan mereka berlepas diri dari apa yang dilakukan sembahan-sembahanny itu demikian juga para penyembahnya. Dalam ayat lain dikemukakan bahwa Isa as. pun dihimpun bersama umatnya (baca QS. al-Maidah : 116) bahkan setan pun diperlakukan demikian.

Kata ثم kemudian, pada firman-Nya Kemudian kami berkata kepada orang-orang musyrik untuk mengisyaratkan jarak penantian yang cukup lama antara keberadaan orang-orang musyrik dan sembahan mereka di Padang Mahsyar, dengan perkataan/pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Jarak waktu penantian itu, menjadikan mereka lebih sekaligus menunjukkan betapa mereka tidak diperhatikan bahakan diabaikan begitu lama, untuk lebih menghina dan melecehkan mereka.[5]

Kata أين dimana, digunakan untuk menanyakan tempat sesuatu, sebagimana digunakan juga untuk menanyakan sesuatu walau tidak memiliki tempat, tetapi diharapkan apa yang ditanya itu menjadi perhatian atau dikerjakan. Seperti pertanyaan Umar ibn al-Khattab kepada seorang pria yang bermaksud menceraikan istrinya: “Di manakah amanah perkawinan yang engkau terima?” Atau pertanyaan seorang penggembala ketika diminta oleh Umar agar menjual kambing milik tuannya, karena ketika itu pemilik kambing tidak ada. Sang penggembala berkata: “dan di manakah Allah?”

Sebagaimana dikemukakan di atas, sembahan-sembahan mereka ikut dikumpulkan di Padang Mahsyar. Jika demikian, pertanyaan tentang di mana pada ayat ini, bukanlah pertanyaan tempat keberadaan mereka, tetapi tentang peran mereka dalam membantu para penyembahnya. Pertanyaan itu dimaksudkan sebagai kecaman dan ejekan karena ketika itu sungguh jelas ketidakmampuan yang disembah untuk menolong siapa yang pernah menyembahnya.[6]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “fitnah” diartikan sebagai “perkataan yang bermaksud menjelekkan orang”. Sedangkan dalam Alquran, kata itu mempunyai makna yang beragam. فتنة Fitnah terambil dari akar kata فتن fatana yang semula berarti “menguji untuk mengetahui kualitas sesuatu”, seperti halnya membakar emas untuk mengetahui kualitasnya. Kata tersebut digunakan Alquran antara lain dalam arti “memasukkan ke Neraka” atau dalam arti “siksaan” seperti terdapat dalam Surat Qaf : 13-14 “hari pembalasan itu, ialah hari ketika mereka difitnah (dimasukkan ke neraka) (dikatakan kepada mereka) “Rasakanlah fitnahmu yakni siksa yang diperuntukkan bagimu.” Fitnah dalam arti siksa adalah hasil dari kegagalan dalam ujian yang berlangsung di dunia. Ia juga dapat berarti godaan yang menguji kadar kualitas seseorang sebagaimana ia digunakan dalam arti kekacauan pikiran akibat rasa takut yang tidak terkendali, atau karena kebencian, atau cinta yang berlebihan. Tampaknya makna inilah yang dimaksud di sini.

Di samping itu ada juga sebagian ulama memahaminya dengan arti “jawaban”, karena ujian menuntut adanya jawaban.[7]

Ayat ini menunjukkan bahwa jawaban mereka adalah bohong. Pakar hadits Imam Bukhari meriwayatkan, ada seseorang yang menyampaikan kebingungannya kepada Ibnu Abbas ra. karena merasa ada ayat-ayat Alquran yang saling bertentangan. Di satu sisi kata orang itu Allah menyatakan bahwa “orang-orang kafir tidak dapat menyembunyikan dari Allah sesuatu ucapan pun” (QS. an-Nisa’ : 42), tetapi di sisi lain kaum musyrik berbohong dan menyembunyikan kebenaran dengan berkata “demi Allah kami tidak pernah mempersekutukan Allah” (QS. al-An’am : 23). Ibnu Abbas menjawab: “sesungguhnya Allah dapat mengampuni dosa-dosa orang yang mengesakan Allah, maka orang-orang musyrik mengetahui hal ini dan berkata kepada rekan-rekan mereka, mari berkata: kami tidak pernah mempersekutukan Allah. Maka, ketika itu Allah mengunci mulut mereka dan menjadikan dan anggota badan mereka berbicara. Ketika itulah mereka tidak dapat menyembunyikan sesuatu di hadapan Allah.”

Dapat juga dugaan pertentangan itu ditolak dengan menyatakan bahwa orang-oreang kafir itu telah terbiasa meraih keuntungan atau menampik kemudaratan dengan bersumpah dan berbohong. Kebiasaan itu telah mendarah daging dalam diri mereka sehingga sulit bagi mereka meninggalkan kebiasaan buruk itu bahkan mereka terbawa dan terpaksa melakukannya, tidak jauh beda dengan seseorang yang terbiasa mengucapkan kata-kata buruk apalagi latah mengucapkan satu kata. Karena kebiasaan itulah, maka ketika dimintai pertanggungjawaban mereka tidak dapat melepaskan diri dari kebiasaan itu. Ketidakmampuan itulah yang dimaksud dengan “tidak dapat menyembunyikan dari Allah satu ucapan pun.” Dengan demikian kebohongan yang menjadi kebiasaan mereka ketika bercakap-cakap tidak dapat mereka sembunyikan.

Atau dapat juga dikatakan bahwa “orang kafir tidak dapat menyembunyikan dari Allah sesuatu ucapan pun” dalam arti berbohong baik di dunia maupun di akhirat, mereka tidak dapat menipu Allah atau menyembunyikan apa yang terjadi di balik ucapan mereka, karena Allah Maha Mengetahui segala isi hati.[8]

Sedangkan dalam Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Allah mengingatkan dalam ayat ini sekaligus memperingatkan supaya manusia sadar dan hati-hati dalam kepercayaan terhadap Tuhan, sebenarnya telah berulang-ulang Allah menunjukkan kepada manusia cara mencari Tuhan, supaya jangan tersesat oleh bayangan kira-kira, sebab pada Hari Kiamat kelak sudah tidak ada kebohongan lagi apalagi mendustakan dirisendiri dengan menyatakan “Demi Allah kami tidak syirik” dan jawaban itu sudah tidak diterima oleh Allah, sebab nyatanya ketika masih hidup mereka syirik.[9]

SURAT AL-AN’AM

Ayat 160

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلا يُجْزَى إِلا مِثْلَهَا وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ

“Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).”

Ayat ini kembali mengingatkan semua pihak untuk menelusuri jalan lurus dan tidak mengiluti aneka jalan yang sesat sebagaiman dijelaskan dalam ayat 153 pada surat ini. Apalagi ayat yang lalu mengancam kaum musyrik dengan bermacam ancaman yang tentu saja diakibatkan oleh keengganan mereka menelusuri jalan yang lurus itu. Keadaan ini menurut al-Biqa’i tentu saja menyedihkan Nabi Muhammad saw. yang dikenal sangat ingin dan berupaya sekuat tenaga mengajak kaumya ke jalan yang benar. Untuk menyingkirkan kesedihan itulah ayat ini diturunkan.

Dapat juga dikatakan bahwa keadaan kaum musyrik dengan bermacam-macam kepercayaan danpraktek ibadah nereka pada hakekatnya telah memecah-belah dan merobek-robek ajaran agama yang hanif.[10] Demikian juga orang Yahudi dan Nasrani. Kepada yang memecah-belah agama itulah diingatkan bahwa agama selalu datang untuk menyatukan, bukan memecah-belah. Sekali lagi ayat ini menjelaskan kepada ereka tentang keadaan Rasul saw. yang sebenarnya yaitu bahwa beliau datang untuk menyatukan, bukan memecah-belah, karena sesungguhnnya orang-orang yang memecah belah agama mereka yang dibawa oleh para Rasul dengan menciptakan kepercayaan dan praktek-praktek ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah swt. sehingga mereka berselisih dalam prinsip-prinsip akidah dan syariat, dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan masing-masing megikuti pemimpinnya. Hal ini sungguh tidak diridhai Allah swt., karena itu engkai wahai Muhammad tidak berkaitan sedikit pun dengan mereka. Agamamu berbeda dengan agama mereka, cara hidupmu berbeda dengan cara hidup mereka. engkau tidak akan ditanya mengenai perpecahan dan ketidaktaatan mereka, sebab engkau hanya penyampai risalah.[11]

Sesungguhnya urusan mereka hanyalah kembali kepada Allah. Dia sendiri menetapkan, siapa saja yang Dia kehendaki akan diberi petunjuk atau Dia biarkan berada dalam kesesatan. Kemudian setelah berlalu waktu yang relative lama dalam kehidupan dunia dan alam barzakh, Allah akan memberitahukan kepada mereka pada Hari Kiamat kelak apa yang yang telah mereka perbuat selama hidup mereka di dunia, kemudian Allah akan membalas mereka. Pembalasan Allah swt. sungguh adil, yakni barangsiapa di antara manusia datang membawa amal yang baik yakni berdasar iman yang benar dan ketulusan hati, maka baginya pahala sepuluh kali lipat dari amalnya sebagai karunia dari Allah swt.; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang buruk maka dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan keburukannya, itu pun kalau Allah menjatuhkan hukuman atasnya, tetapi tidak sedikit keburukan hamba yang dimaafkan-Nya. Kalau dia menjatuhkan hukuman, maka itu sangat adil. Dan dengan demikian mereka (yang melakukan kejahatan) itu sedikit pun tidak dianiaya, tetapi masing-masing akan memperoleh hukuman setimpal dengan dosanya. Adapun yang berbuat baik, maka bukan saja mereka tidak dianiaya bahkan mereka diberi ganjaran yang adil; mendapat anugerah karunia Allah swt.

Bahwa keadaan Rasul saw. yang berbeda dengan keadaan kelompok-kelompok yang masing-masing mengikuti pemimpin mereka itu, menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Rasul yang membawa kalimat haq untuk mempersatukan semua kelompok di bawah panji tauhid.

Perpecahan dan kelompok-kelompok yang dimaksud oleh ayat ini adalah perpecahan dalam bidang prinsip-prinsip ajaran agama dan dalam perbedaan tujuan. Adapaun bila tujuan sama, atau perbedaan hanya dalam rincian ajaran yang melahirkan perbedaan penafsiran serta didukung oleh kaidah-kaidah kebahsaan dan disiplin ilmu, maka ini dapat ditoleransi.

Ketika menafsirkan firman-Nya: “Dan janganlah amu menyerupai orang-orang yang berkelompok-kelompok dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka” (QS. Ali-Imran: 105), penulis antara lain mengemukakan bahwa firman-Nya: Sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka, dipahami sementara oleh para ulama berkaitan dengan kata “berselisih”, bukan dengan kata “berkelompok”, dan ini berarti bahwa perselisihan itu berkaitan dengan prinsip-prinsip ajaran agama. Ada pun yang dimaksud dengan berkelompok-kelompok, maka ia dapat dipahami dalam artian perbedaan dalam badan atau organisasi. Memang perbedaan dalam badan atau organisasi dapat menimbulkan perselisihan, walau pun tidak mutlak karena lahirnya berbagai organisasi tidak otomatis lahirnya perselisihan dalam prinsip dan tujuan.

Jika demikian, Alquran tidak melarang umat untuk berkelompok atau berbeda pendapat, tetapi yang dilarang-Nya adalah berkelompok dan berselisih dalam tujuan. Ada pun perbedaan yang bukan pada prinsip atau tidak berkaitan dengan tujuan, maka yang demikian itu dapat ditoleransi bahkan tidak mungkin dihindari. Rasul saw. sendiri mengakuinya. Bahkan Allah menegaskan bahwa yang demikian itu adalah kehendak-Nya juga. “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (Qs. Al-Maidah: 48). Di sini terlihat bahwa berkelompok tidak otomatis terlarang, apalagi seperti yang ditulis oleh mantan Pemimpin tertinggi al-Azhar Syekh Abdul HAlim Mahmud.[12]

Sedangkan dalam terjemahan singkat Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menjelaskan bahwa siapa yang berbuat kebaikan akan dibalas dengan yang yang lebih baik.

Banyak sekali hadis-hadis yang menjelaskan dan menguraikan maksud ayat ini. Salah satunya Ibnu Abbas ra. yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. meriwayatkan dari Allah swt.: “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih, siapa yang berniat akan berbuat baik dan belum dilaksanakan, dicatat untuknya satu hasanat, maka apabila dikerjakan dicatat sepuluh hingga tujuh ratus hasanat dan dapat berlipat ganda lebih dari itu. Dan siapa yang berniat akan berbuat dosa tetapi tidak dikerjakan, dicatat satu hasanat, tapi bila dikerjakan dicatat satu dosa atau dihapus oleh Allah swt., karena itu tidak akan binasa di hadapan Allah kecuala orang-orang binasa (HR. Ahmad, Muslim, Nasa’i).

SURAT HUD

Ayat 114

وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ. وَاصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ .

“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. Dan bersabarlah, karena Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan (al-Muhsinin).”

Apa yang diperintahkan dan dilarang oleh ayat yang lalu memang tidak mudah, tetapi Allah swt. memberi bekal guna memikulnya sehingga tuga tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. manurut al-Biqa’i, manusia adalah wadah kelemahan dan keteledoran, maka ayat ini memberi petunjuk tentang cara terampuh untuk menutupi dosa-dosa kecil yang diakibatkan oleh kelemahan itu serta menghindarkan dampak buruk keteledoran dan kelesuan itu serta guna meraih istiqamah yang diperintahkan oleh ayat yang lalu.

Ayat ini mengajarkan: Dan dirikanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuanm rukun, syarat, dan sunah-sunahnya pada kedua tepi siang yakni pada pagi dan petang; atu Subuh, Dhuhur, dan Ashar dan bagian permulaan daripada malam yaitu Maghrib dan Isya’, dan juga bisa termasuk witir dan tahajjud. Yang demikian itu dapat menyucikan jiwa dan mengelahkan kecenderungan nafsu untuk berbuat kejahatan.

Sesungguhnya kebajikan-kebajikan itu yakni perbuatan-perbuatan baik seperti shalat, zakat, sedekah, istghfar, dan bermacam ketaatan lain dapat menghapuskan dosa kecil yang merupakan keburukan-keburukan yakni perbuatan-perbuatan buruk yang tidak mudah dihindari manusia. Adapun dosa besar, maka ia membutuhkan ketulusan bertaubat, permohonan ampun secara khusus dan tekad untuk tidak mengulanginya. Itu yakni petunjuk-petunjuk yang disampaikan sebelum ini yang sungguh tinggi ilainya dan jauh kedudukannya. Itulah peringatan yang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang siap menerimanya dan yang tidak melupakan Allah. Dan di samping shalat, juga bersabarlah dalam menghadapi kesulitan mengerjakan perintah Allah swt. Ini karena tahap kesabaran sulit melaksanakan ketaatan apalagi beristiqamah dan sulit pula meraih sukses dalam kehidupan dunia apalagi akhirat! Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan ganjaran al-Muhsinin.

Kata (زُلَفًا) zulafan adalah bentuk jama’ dari kata (زلفة) zulfah yaitu waktu-waktu yang saling berdekatan. Kata muzdalifah, tempat mengambil batu-batu untuk melontar jumrah ketila melaksanakan haji dinamai demikian karena dia berdekatan dengan Mekkah dan juga berdekatan dengan Arafah. Atas dasar itulah maka banyak ulama’ memahami shalat di waktu itu adalah shalat yang dilaksanakan pada waktu gelap, yakni Maghrib dan Isya’.

Para Mufassir sepakat mengatakan bahwa shalat yang dimaksud ayat ini adalah shalat wajib. Demikian dinyatakan oleh al-Qurthubi. Mereka hanya berbeda pendapat tentang pengertian tepi dua siang. Ada yang berpendapat, tepi pertama adalah subuh, dan tepi kedua adalah Dhuhur dan Ashar. Ada lagi yang berpendapat kedua tepi itu adalah Subuh dan Maghrib. Ada lagi yang memahami kedua tepi itu adalah Ashar saja. Ada juga yang memahami tepi pertama adalah Subuh saja, dan tepi kedua adalah Dhuhur, Ashar, dan Maghrib. Sedangkan bagian malam adalah Isya’. Pendapat yang dikemukakan pertama adalah yang palin populer. Ini bagi yang berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah shalat wajib yang lima waktu itu. Ada juga yang memahami ayat ini berbicara tentang shalat sebelum adanya keawajiban shalat lima waktu, yakni shalat yag dilaksanakan dua kali pada siang hari dan shalat di malam hari, sebelum datangnya perintah shalat lima waktu. Sementara kaum sufi memahaminya dalam arti perintah untuk melakukan kegiatan ibadah—baik yang wajib maupun sunah—sepanjang hari.

Firman-Nya (إِنَّ الْحَسَنَاتِ) Inna al-Hasanat/sesungguhnya kebajikan-kebajikan yakni perbuatan baik yang didasari oleh keimanan dan ketulusan (يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ) yudzhibna as-Syayiat/menghapus keburukan-keburukan yakni perbuatan buruk, di samping mengandung makna bahwa Allah swt. mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang telah mengerjakan amal-amal shaleh, juga mengandung makna bahwa amal-amal shaleh yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat memebentengi dirinya sehingga dengan mudah ia dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Makna semacam ini sejalan dengan firman-Nya:

إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. (QS. al-‘Ankabut: 45)

Kata al-Hasanat/kebajikan-kebajikan ada yang memahaminya dalam pengertian khusus, yakni shalat, atau istighfar. Tetapi pendapat yang lebih baik adalah yang memahami dalam pengertian umum. Namun demikian, kata keburukan-keburukan harus dipahami dalam pengertian umum, tetapi khusus untuk keburukan-keburukan kecil.

Bahwa ayat ini dipahami sebagai amal baik menghapus dosa kedurhakaan kecil, dipahami oleh ulama’ dari sekian banyak riwayat, antara lain bahwa ada seseorang yang mencium seorang wanita, kemudian datang menyampaikan kesalahannya itu kepada Rasulullah saw. Orang itu berkata: “apakah menyangkut diriku ayat ini turun?” Nabi saw. menjawab: “bagi siapa pun yang melaksanakannya dari umatku.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah melalui Ibnu MAs’ud). Nabi saw. juga bersabda : “bertaqwalah kepada Allah di mana engkau berada, dan ikutkanlah keburukan dengan kebajikan, niscaya Dia menghapusnya.”

Kata (مُحْسِنِينَ) muhsinin adalah jama’ muhsin. Kata ihsan, menurut al-Harali, sebagaimana dikutip al-Biqa’i, adalah puncak kebaikan amal perbuatan. Bagi seorang hamba, sifat ihsan tercapai saat seseorang memandang dirinya pada diri orang lain sehingga memberi untukorang lain itu apa yang seharusnya diambil untuk dirinya sendiri. Karena itu pula ihsan antara hamba dengan sesama manusia adalah bahwa dia tidak melihat dirinya lagi dan hanya melihat orang lain . Maka dia itulah yang dinamai muhsin. Dan ketika itu dia telah mencapai puncak dari segala amalnya.

Pernyataan ayat ini bahwa Allah tidak menyia-nyiakan amal al-Muhsinin bukan berarti bahwa kualitas ketaqwaannya labih rendah dari al-Muhsinin, maka boleh jadi amaln-amalannya disia-siakan oleh Allah. Tidak! Ayat ini ketika menyebut kata tersebut mengarahkan pernyataannya kepada mereka yang melaksanakan tuntunan dalam ketiga ayat yang lalu, yakni beristiqamah, tidak melampaui cenderung, dan mengandalkan orang-orang dzalim, serta melaksanakan shalat dan bersabar. Mereka yang melaksanakan petunjuk itu dengan baik dinamai al-Muhsinin.[13]

TAFSIRUL MUFRADAT (Penafsiran Kata-kata Sulit)

Tharafu asy-Syai’: Bagian dan ujung dari sesuatu. Sedang Tharafa an-Nahar (dua ujung yang dimaksud adalah pagi dan petang). Diriwayatkan dari al-Hasan, Qatadah, dan adz-Dhahak bahwa yang dimaksud ialah shalat subuh dan ashar.

az-Zulaf: Jama’ dari zulfa yang artinya bagian dari awal malam karena dekat dari siang. Sedang menurut al-Hasan, yang dimaksud ialah zulfatani (dua bagian dari awal malam), yaitu shalat maghrib dan shalat isya’.

Dikra: Pelajaran dan nasihat.

Adz-Dzakirin: Orang-orang yang mengambil pelajaran dan nasihat.

Pengertian Secara Ijmal

Setelah Allah swt. memerintahkan Rasul-Nya supaya berlaku istiqamah (lurus) dan tidak melanggar apa yang telah digariskan oleh agama, serta tidak cenderung kepada orang-orang dzalim, maka Dia perintahkan pula supaya melakukan ibadah yang paling utama dan luhur, yang bisa digunakan sebagai pendukung terhadap hal-hal tersebut.

Penjelasan

وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ

Laksanakanlah shalat menurut cara yang lurus dengan senantiasa mendirikannya pada kedua ujung siang setiap hari dan pada bagian dari malam. Serupa dengan ayat tersebut ialah firman Allah swt. pada surat Thaha:

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى

“Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.” (Thaha: 130)

Tasbih di sini bersifat umum, mencakup shalat dan lainnya. Adapun ayat yang tegas mengenai waktu-waktu shalat yang lima, adalah firman Allah swt.:

فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ (١٧)وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَعَشِيًّا وَحِينَ تُظْهِرُونَ

“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu Zuhur.” (ar-Rum: 17 – 18)

Petang hari adalah saat antara Dhuhur dan Maghrib, yaitu shalat ashar. Sedang shalat maghrib adalah pada permulaan sahur hari. Dan shalat isya’ dilaksanakan pada akhir kabur hari, yaitu pada saat hilangnya Safak, bekas terakhir dari cahaya siang. Shalat disebutkan secara khusus karena ia merupakan pangkal ibadah yang memberi dorongan kepada iman dan membantu lainnya.

Kemudian Allah menerangkan pula faidah dari hal tersebut dan hikmahnya, dengan firman-Nya:

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan keburukan-keburukan dan menghilangkan cela yang ditinggalkan karena amal yang baik merupakan pensucian dan perbaikan jiwaa yang karenanya ia dapat menghapuskan pengaruh dari amal buruk yang melekat dalam jiwa atau perusakan amal-amal buruk terhadapnya.

ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

وَاصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ .

[1] Hamka. Tafsir al-Azhar V. Jakarta: Pustaka Panjimas. hal. 169

[2] Sayyid Quthub. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1. ; Jakarta: Gema Insani. 2002. hal. 34

[3] Ibid

[4] Quraish Sihab. Tafsir Al-Misbah 4. Jakarta: Lentera Hati. 2001. hal. 51

[5] Ibid. hal. 52

[6] Tafsir al-Maraghi 7. Semarang : Toha Putra. 1992. hal. 156.

[7] Ibid. hal. 53.

[8] Ibid. Hal. 54.

[9] Ibnu Katsir. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya: Bina Ilmu. 1986. hal. 227.

[10] Quraish Shihab. Al-Misbah. hal. 151.

[11] Ibid. hal. 152.

[12] Ibid. hal. 53.

[13] Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah 6. Jakarta: Lentera Hati. 2002. hal. 355



YAUMUL MARHAMAH


Tanggal 14 Februari bagi mereka baik dari kalangan remaja maupun dewasa merupakan hari dan bulan yang special, karena bagi mereka bulan ini adalah bulan kasih sayang atau sering disebut valentine's day. Di mana para pasangan muda-mudi saling berbagi kasih sayang (sayang kebablasan), ini tidak lepasa dari pengaruh budaya Barat yang membawa tradisi atau budaya baru bagi kita orang Timur yang menjunjung tinggi toto kromo atau sopan santun.
Sayangnya sikap sopan santun, menjaga etika atau yang lainnya terkait budaya orang Timur kini telah memudar seiring berkembangnya zaman. Maka dari sinilah terjadi 'penodaan' nilai dari kasih sayang tersebut. Tidak sedikit dari mereka merayakan hari kasih sayang (valentine's day) dengan berhubungan badan layaknya suami-istri (makanya banyak orang tua-tua bilang termasuk salah satu dosen saya kalu bulan februari adalah bulan hilangnya perawan-perawan. muningkin pernah kali ? he...he...) makanya banyak para ustad atau orang yang menjunjung tinggi nilai spiritual (Islam) melarang bahkan mengharamkannya.
Saya kira ini juga tak lepas dari kurang pahamnya tenatang hari kasih sayang yang mencontoh prilaku atau budaya Barat yang gak pantas dilakukan oleh masayarakat Indonesia yang mayoritas Islam. isi selengkapnya klik di sini

Cintailah Cinta

                            Istrimu yang kau nikahi
tidaklah semulia Khotijah, tidak setakwa Aisyah
pun tidaklah setabah Fatimah,
Istrimu adalah wanita akhir zaman
yang punya cita-cita menjadi sholihah
pernikahan mengajarkan kita kewajiban bersama,
Istri menjadi tanah kamu langit penaungnya
Seandainya istri tulang yang bengkok
hati-hatilah melurusakan

Suami yang menikahimu
tidaklah semulia Muhammada SAW, tidaklah setaqwa Ibrahim
pun tak setabah Ayub,
Suamimu hanyalah pemuda akhir zaman
yang punya cita-cita membangun keturunan yang sholeh,
Pernikahan mengajarkan kita kewajiban bersama
Suamimu adalah nahkoda kapal kamu navigatornya
yang selalu bisa mendampinginya, seandainya suamimu lupa
bersabarlah memperingatinya.


Alam idea


Bicara tentang tokoh filsuf Heidegger tak terlepas dari pikirannya yang menakjubkan tetang eksistensi manusia. Dalam perjalanan karir filsafatnya, ia mencoba mengupas tentang eksistensi manusia, baik berada yang diadakan oleh Ada dan pengada lain. Ia juga menelorkan beberapa karya spektakuler salah satunya ialah Being and Time dan Time and Being yang kini banyak digunakan sebagai bahan referensi sebuah karya ilmiah termasuk salah satunya dalah buku yang berada dihadapan Anda. Sebuah karya spektakuler dari seorang ikhwan, yang mencoba mengupas hakikat manusia baik dari segi psikologis, spritualis, mistis dan filosofis.
Buku yang diberi judul Antara aku, kau dan Dia ini mencoba mengantarkan kita kejejang “Marifat cinta” dan membuka sebuah realitas hidup ini. Dalam kehidupan ini terdapat hubungan “suami-istri”. Yang pertama hubungan suami-istri itu sendiri, kedua hubungan suami-istri antara manusia dengan manusia yang lainnya, kemudian hubungan suami-sitri antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, terus hubungan suami-istri dengan ala mini dan yang etrakhir hungan suami-istri antara manusia dengan Tuhan.
Untuk lebih tahu apa dibalik hungan suami-istri yang selama ini berada baik dalam diri kita maupun berada di luar diri kita, mari kit abaca bersama-sama buku tersebut dengan seksama.

Kibod Arabi

Dapatkan Free Graph Quotes