Selamat datang di SlendangWetan Institut, Blognya orang yang "sadar diri" !
Tampilkan postingan dengan label Makalah Filsafat Islam Kontemporer. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah Filsafat Islam Kontemporer. Tampilkan semua postingan

5.01.2008

Bahasa AGAMA


Mukadimah
Salah satu dari subyek penting pembahasan dalam ranah teologi dan filsafat agama adalah analisa dan observasi tentang bahasa agama serta mekanisme pemahaman dan penguraian agama. Pembahasan yang berhubungan dengan hal tersebut, dengan menimbang perjalanan perubahannya dari zaman Yunani kuno hingga sekarang ini dimana mengalami perubahan-perubahan yang cukup kompleks, hadirnya analisa-analisa yang semakin membuahkan pertentangan dan perbedaan serta terungkapnya pertanyaan-pertanyaan yang cukup rumit dan akurat, seperti Apakah bahasa agama bermakna atau tidak bermakna? Apakah bahasa agama dapat ditetapkan, dibatalkan dan ditegaskan dengan tolok ukur ilmiah dan empirik ataukah tidak? Apa hubungannya dengan bahasa ilmiah, akhlak, filsafat dan seni? Apakah bahasa agama mempunyai satu dimensi atau memiliki dimensi-dimensi yang beragam? Apakah bahasa agama hanya mengulas alam realitas ataukah memberi motivasi dan menarik hati? Bagaimana dapat memahami bahasa agama dan mengantarkan kepada hakikat dan substansi agama?[1]
Berhubungan dengan persoalan-persoalan tersebut di atas, terdapat pertanyaan-pertanyaan klasik dalam ilmu kalam (teologi) tentang ketuhanan, bagaimana memahami dan menganalisa makna yang homonim antara Tuhan dengan manusia atau yang dinisbahkan terhadap maujud-maujud materi. Apakah sifat-sifat ini mempunyai makna umum dimana makna manusia diperoleh karena dipredikasikan kepada Tuhan? Ataukah mempunyai makna yang lain? Pertanyaan ini awalnya ditujukan kepada sifat-sifat ketuhanan, tetapi selanjutnya berkembang meliputi seluruh pernyataan-pernyataan keagamaan sehingga menghadirkan kerisauan dan problematika baru; sebagaimana yang diisyaratkan, pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah proposisi-proposisi dan keyakinan-keyakinan agama mempunyai makna ataukah sama sekali tidak bermakna? Mempunyai makna yang dapat dipahami ataukah tidak dapat dipahami? Memiliki makna simbolis ataukah makna aplikatif dan berdimensi pada pengungkapan perasaan? Dan banyak lagi bentuk pertanyaan-pertanyaan lain seperti di atas yang membutuhkan jawaban-jawaban yang serius dan memuaskan.[2]
Adapun faktor-faktor yang menjadikan bahasa agama menjadi urgen dibahas oleh para teolog dan filosof (muslim dan non-muslim) adalah sebagai berikut:

1. Pentingnya menyingkap makna dan pengertian proposisi-proposisi keagamaan dan ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan Tuhan;
2. Menganalisa sifat-sifat berita (al-khabariyyah) (seperti tangan, wajah, dan…) untuk menjauhi dimensi keserupaan, kematerian dan menghindar dari "kematian" rasionalisasi agama;
3. Menyingkap makna dari sifat-sifat yang sama antara manusia dan Tuhan, seperti ilmu, kodrat, iradah dan…;
4. Kontradiksi antara ilmu dan agama (menurut sebagian pemikir dan ilmuwan agama), dan untuk memecahkan masalah kontradiksi tersebut dihadirkan bahasa agama;
5. Menganalisa dan mengobservasi keyakinan-keyakinan dan proposisi-proposisi keagamaan dengan tujuan memecahkan problematika perselisihan internal agama;[3]
6. Munculnya aliran-aliran khusus filsafat, seperti positivisme, positivisme logikal dan filsafat analitik.
Teori dan Pendekatan Terhadap Bahasa Agama
Dalam mengantisipasi faktor-faktor yang mendasari timbulnya pembahasan tentang bahasa agama (sebagaimana yang disebutkan di atas) maka para teolog dan filosof agama mengutarakan beberapa jalan pemecahan untuk masalah teks agama, penafsiran yang benar terhadap teks, pemecahan kontradiksi yang ada dan ketaksesuaian agama dengan akal dan ilmu. Berkenan dengan masalah tersebut maka kami berusaha dalam tulisan ini mengungkapkan teori dan pendekatan dari teologi dan filsafat Islam dan juga pandangan dari filosof dan teolog Barat dan Kristen:

a. Pendekatan Teologi Dan Filsafat Islam
Pembahasan tentang bahasa agama dalam Islam bisa ditinjau berdasarkan pemikiran-pemikiran para teolog dan filosof Islam dalam menganalisa dan mengkaji bahasa yang disifatkan kepada Tuhan secara khusus dan bahasa yang dinisbahkan kepada seluruh keyakinan keagamaan secara umum.
Para teolog Islam membagi sifat-sifat Tuhan kepada sifat dzat seperti ilmu, kudrat dan hidup dan sifat berita, seperti wajah dan tangan (sifat-sifat yang diberitakan dalam teks al-Qur'an). Menisbahkan sifat-sifat manusia kepada Tuhan (sifat berita penyerupaan, al-musyabbiyâh), tetapi pada umumnya kaum muslimin menyanggah dan mengkritik mereka dengan dalil dan argumen rasional (al-aql) serta teks suci (an-naql); sebab mustahil menisbahkan kualitas-kualitas insani yang mempunyai dimensi kemakhlukan (mumkin al-wujûd) terhadap Tuhan yang Wâjibul Wujûd.
Asy'ariyyah menafsirkan sifat-sifat tersebut dengan makna umum (pengertian yang digunakan dalam masyarakat secara umum) terhadap Tuhan, tetapi untuk menghindari penyerupaan (at-tasybih,anthropomorphism) mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan memiliki wajah dan tangan tapi tanpa tasybih."[4]
Kelompok lain dari Asy'ariyyah, di samping menisbahkan sifat-sifat tersebut terhadap Tuhan juga menyerahkan pemaknaan sifat-sifat tersebut kepada Tuhan dengan pengertian bahwa manusia tidak mampu memahami makna-makna dari sifat-sifat berita. Analisa ini juga tidak sesuai dengan kemestian fedeisme (fideism, kecenderungan keimanan) serta informasi dan pengetahuan dari keyakinan-keyakinan keagamaan dan keimanan, dan akan menyebabkan peniadaan pengetahuan terhadap ayat-ayat dan sifat-sifat Tuhan.
Dalam hal ini Mu'tazilah mengemukakan teori penakwilan dan menafsirkankan sifat-sifat berita dengan pengertian yang menyalahi makna-makna lahiriah, sebagai contoh "tangan" ditakwilkan dengan makna "kenikmatan" dan "kekuasaan". Teori penakwilan Mu'tazilah ini tidaklah sempurna, karena takwil tersebut mesti menyebabkan pergeseran makna dari makna lahiriah kepada makna yang menyalahi makna lahiriah, sedangkan Mu'tazilah memaknai "tangan" dengan "kekuasaan" dimana ia merupakan salah satu dari makna lahiriah "tangan" (jadi tidak terjadi penakwilan).[5]
Pandangan yang lain dari teolog dan ahli ushul fiqih Syi'ah menyatakan bahwa makna kata-kata dibagi atas dua bagian:

1. Implikasi pengertian (ad-dilâlah at-tashawwuriyah), yang maksudnya adalah pikiran manusia memahami secara langsung makna sebuah kata yang diucapkan oleh seseorang, hadirnya implikasi dari makna kata tersebut terkadang tidak menunjukkan keinginan pembicara.
2. Implikasi kebenaran (ad-dilâlah at-tashdiqiyah), implikasi ini yang menunjukkan kehendak pembicara (implikasi ini juga terbagi dua: penggunaan (al-isti'mâliyah) dan kesungguhan (aj-jiddiyah). Karena pembahasan kita berkenan dengan sifat berita maka ketika dalam al-Qur'an terdapat kata "mata" dan "tangan" tidak harus meninjau kata tersebut dari makna dasarnya semata (ad-dilâlah at-tashawwuriyah), sehingga pemaknaan "mata" dan "tangan" dikonsepsi sesuai dengan makna "mata" dan "tangan" yang ada pada kita, tetapi harus diperhatian pengertian keseluruhan pembicaraan (ad-dilalah at-tashdiqiyah), sebagai contoh ketika seseorang berkata, "Ketika sedang minum teh di restoran saya melihat asad, kata asad dalam bahasa Arab bermakna hewan pemangsa (singa), akan tetapi restoran bukanlah tempat bagi hewan seperti itu, oleh sebab itu kata "restoran" merupakan suatu konteks bahwa yang dimaksud asad adalah manusia yang mempunyai sifat hewan tersebut, yakni sifat keberanian. Dengan kata lain, pembahasan tersebut mempunyai hubungan dengan implikasi tashawwuriyah dan implikasi tashdiqiyah – dan dengan implikasi makna kata dan implikasi konteks kalimat – dan aturan dalam penafsiran tentang pembicaraan seorang pembicara adalah mengikuti implikasi tashdiqiyah dan konteks kalimatnya, bukan implikasi tashawwuriyah dan makna katanya, dalam contoh di atas maknanya adalah laki-laki pemberani (yakni implikasi maknanya bersifat tashdiqiyah dan konteks kalimat).
Di dalam menafsirkan seluruh ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat berita harus mengikuti metode tersebut di atas dan dengan penuh ketelitian meninjau suatu ayat yang termasuk salah satu dari sifat-sifat tersebut dengan menggabungkan dan mengelaborasi ayat-ayat yang serupa sehingga dapat menyampaikan pada maksud Tuhan, mungkin saja kita meninggalkan implikasi tashawwuriyah dan berpegang kepada implikasi tashdiqiyah.[6] Metode ini dapat kita simak dalam kalimat berikut ini: "Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya" dan kalimat "Tangan Tuhan di atas tangan-tangan mereka", kalimat pertama menafikan kematerian Tuhan dengan akal dan kalimat kedua dimakna kekuasaan Tuhan dengan implikasi tashdiqiyah.

Problematika yang berhubungan dengan sifat kesempurnaan ( ats-Tsubuti)
Dalam menyifatkan Tuhan dengan sifat tsubuti kita akan menghadapi tiga jenis problematika:

1. Ilmu dan kodrat yang terkandung dalam pengertian berilmu (âlim) dan berkuasa (qâdir), kedua sifat ini merupakan kategori kualitas jiwa. Dalam konteks ini, bagaimana kita menyifatkan Tuhan dengan kategori kualitas jiwa dimana termasuk salah satu dari bagian aksiden, padahal bukankah Tuhan lebih tinggi dan lebih mulia dari substansi dan aksiden?
2. Di mana saja kita sifatkan suatu maujud dengan kedua sifat tersebut (âlim dan qâdir) maka pemahaman umumnya adalah subyek mempunyai dzat dan sifat ilmu dan kodrat, dan kemestian dari penyifatan tersebut adalah terangkapnya Tuhan dari dzat dan sifat, sedangkan rangkapan pertanda kebutuhan, sementara kebutuhan adalah keniscayaan dari makhluk (mumkin al-wujud) yang merupakan lawan dari Wâjib al-wujud.
3. Sebagian dari sifat-sifat tsubuti, seperti mendengar (samî') dan melihat (bashîr) memerlukan media-media materi, lantas bagaimana kita bisa menisbahkan Tuhan dengan sifat-sifat tersebut? Dan hal ini juga bertentangan dengan rumusan tauhid dimana Tuhan suci dari aspek-aspek materi.
Para teolog Islam sepakat bahwa seluruh sifat yang dialamatkan kepada Tuhan sebenarnya dimaksudkan untuk menggambarkan suatu realitas yang berada di luar akal manusia. Bahasa agama adalah bahasa umum (bahasa yang dipakai dan dipahami secara umum), dan proposisi-proposisi yang terdapat dalam teks suci agama bukanlah sesuatu yang bersifat ambiguitas dan bukan bahasa syair (maksudnya bahasa yang muncul dari daya khayal manusia) serta bukan pula suatu cerita legenda.
Dan jika kita menemukan problematika, maka dapat dipecahkan dengan bantuan potensi yang dimiliki akal pikiran, mukasyafah (pencapaian spiritual) hati dan elaborasi ayat serta riwayat. Misalnya pandangan mereka terhadap persoalan pertama dalam sifat tsubuti adalah bahwa ketika Tuhan disifatkan dengan sifat-sifat seperti berilmu dan berkuasa, tidak mesti sifat-sifat tersebut dikonsepsi sebagai suatu aksiden dan kualitas jiwa, akan tetapi dikarenakan keagungan dan ketinggian eksistensi-Nya, maka ilmu dan kodrat adalah terwujud dengan sendirinya (swa-wujud) dan dzat Tuhan itu sendiri identik dengan ilmu dan kodrat. Orang awam, menggunakan bahasa agama dalam pemahaman umum tanpa memperhatikan problematika dan kekurangan yang ada, para filosof dan teolog dalam pembicaraan sehari-hari juga menggunakan cara masyarakat umum, tetapi dalam burhan dan argumentasi melakukan pendekatan khusus (pendekatan ilmu).
Tentang problematika kedua, adalah benar bahwa berilmu dan berkuasa dalam bahasa Arab bermakna dzat yang disertai dengan ilmu dan kodrat, tetapi dari segi argumentasi akal, Tuhan adalah wujud murni dan antara dzat Tuhan dan sifat-sifat-Nya tidak terdapat dualitas, maka harus dikatakan bahwa sifat tersebut terwujud dengan sendirinya (swa-wujud) dan tidak bersifat aksiden pada dzat (tak menempel pada dzat). Filosof dan teolog menyifatkan Tuhan dengan makna bahasa yang digunakan orang-orang awam dan tanpa melakukan perubahan dalam makna tersebut, dan argumentasi rasionallah yang mengantarkan mereka pada pengertian dan pemaknaan yang lebih tinggi dan lebih sempurna dari pemahaman-pemahaman umum. Dan pemahaman yang lebih tinggi tidak mesti melakukan intervensi dan perubahan dalam penggunaan kata; namun mungkin saja orang-orang menyifatkan Tuhan tapi tidak memperhatikan bahwa ilmu merupakan kategori kualitas (salah satu bagian dari aksiden) dan menempel pada dzat dan juga ia menyifatkan Tuhan dengan sifat tersebut tanpa memperhatikan konsekuensi konklusi argumentasi, oleh sebab itu ketika dibahas secara rasional maka muncullah problematika-problematika tersebut.
Adapun tentang problematika ketiga disebutkan bahwa kekhususan-kekhususan partikular tidak mesti dipandang sebagai batasan dan mahiyah dari sifat-sifat tersebut. Kekhususan-kekhususan tersebut memiliki pengertian tertentu dan bukan merupakan inti makna, sebab aktualitas dan hakikat mendengar (samî') dan melihat (bashîr) adalah kehadiran sesuatu yang didengarkan di sisi yang mendengar dan kehadiran yang dilihat di sisi yang melihat, kendatipun dalam hal ini tidak melibatkan dan menggunakan alat dan media materi. Dan berasaskan konsep tauhid, yang telah ditetapkan oleh para filosof Islam bahwasanya dzat Tuhan adalah basith (bersifat mencakup dan meliputi segala sesuatu), maka dalam hal ini tidak ada makna kehadiran materi di sisi materi atau kehadiran sesuatu di sisi sesuatu (berbeda dengan manusia yang membutuhkan sesuatu yang lain sebagai media dalam meraih sesuatu).

Analisa Sifat-sifat dalam Hikmah Muta'aliyah
Mulla Shadra, dalam kitab Asfar jilid keenam, membahas segala permasalahan yang berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan. Langkah pertama yang ia lakukan adalah membagi sifat-sifat, ia berkata, "Sifat-sifat terbagi menjadi sifat sempurna yang tetap (îjâbi tsubûti) dan sifat tak sempurna yang tertolak (salbî taqdîsi), dimana kitab suci mengungkapkan kedua sifat tersebut, "Maha suci nama Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan", sifat jalaliyah adalah mensucikan dzat-Nya dari segala keserupaan dengan yang lain dan dzat suci Tuhan lebih agung dan lebih tinggi dari apa-apa yang disifatkan terhadap-Nya, sifat Mulia (ikrâm) adalah suatu sifat yang "dengannya" Tuhan memuliakan diri-Nya sendiri, dan kesimpulannya adalah pemilik kesempurnaan tersebut adalah pemilik kemuliaan.[7]
Selanjutnya sifat-sifat kelompok pertama (salbî taqdîsi) merupakan negasi terhadap segala kekurangan dan ketiadaan, serta menekankan bahwa seluruh sifat-sifat tersebut kembali kepada satu penegasian yaitu negasi kebergantungan (menolak segala sifat yang implisit menceritakan tentang kebergantungan Tuhan), sifat-sifat tersebut jika ditinjau sebagai negasi dalam negasi maka kembali bermakna afirmasi.
Sifat-sifat kelompok kedua (sifat tsubûti) juga terbagi atas dua jenis: 1) sifat hakikat (hakikiyah) seperti ilmu, hidup dan…, 2) sifat tambahan (idhâfiyah) seperti pencipta, pemberi rezki dan…. Kemudian seluruh sifat-sifat hakiki kembali kepada sifat keniscayaan wujud (wujubul wujud) dan seluruh sifat tambahan dikembalikan kepada satu sifat tambahan (idhâfah) yaitu sifat tambahan kepenciptaan (qayyumiyah). Oleh karena itu:

1.Seluruh sifat-sifat salbî dikembalikan kepada satu penegasian yakni negasi kebergantungan dan kebergantungan itu sendiri mempunyai makna negasi, jadi negasi kebergantungan adalah negasi negasi (kebergantungan) yang hasilnya adalah afirmasi.
2.Negasi negasi tersebut yang kembali kepada sifat afirmasi yang sumbernya adalah intensitas wujud yang kuat.
3.Seluruh sifat-sifat afirmasi hakiki juga kembali kepada satu sifat yaitu sifat keniscayaan wujud (wujubul wujud), dimana sifat ini juga bersumber dari intensitas wujud yang kuat.
4.Seluruh sifat-sifat afirmasi tambahan (idhâfi) kembali kepada sifat kepenciptaan (qayyumiyah), dimana sifat ini juga berdiri tegak pada wujubul wujud.
Konklusi dari analisa dan uraian di atas bahwa wujubul wujud merupakan prinsip dan asas utama bagi seluruh sifat-sifat jalal dan jamal Tuhan serta tidak ada jalan bagi multiplisitas dan kejamakan dzat suci Tuhan.
Mulla Shadra juga mempunyai pembagian lain terhadap sifat-sifat, ia berkata, "sifat-sifat dibagi menjadi sifat yang terinderai dan sifat yang terkonsepsi dengan akal, dan kedua bagian tersebut masing-masing terbagi lagi menjadi sifat yang identik dengan yang disifati dan tidak identik dengan yang disifati. Sifat yang pertama[8] seperti kebersambungan untuk materi, sifat yang kedua[9] seperti sifat hitam untuk materi, sifat yang ketiga[10] seperti keberilmuan untuk akal dan sifat yang keempat[11] seperti keberilmuan untuk manusia.[12]
Adapun sifat-sifat Tuhan bukan dari jenis sifat-sifat yang terinderai sebagaimana anggapan aliran Mujassimiyah dan Musyabbihiyah dan juga bukan dari jenis sifat-sifat yang mengaksiden (menempel) pada dzat sebagaimana pandangan Asy'ariyyah serta tidak sebagaimana konsep keterpisahan sifat dari dzat sebagaimana gagasan Karrâmiyyah. Selanjutnya Mulla Shadra mengungkapkan bahwa eksistensi (wujud) yang mempunyai satu hakikat tetapi pada saat yang sama juga terdapat multiplisitas dan keragaman wujud yang bergradasi yang meliputi wujud materi hingga wujud non materi atau mumkin al-wujud (keseluruhan wujud selain Tuhan) dan Wâjib al-Wujud (Tuhan).
Kesempurnaan-kesempurnaan eksistensi juga seperti tersebut di atas, karena semua sifat-sifat kesempurnaan jika ditinjau dari segi pengertian dan komprehensinya maka bersifat univokal (musytarak maknawi)[13] dan bukan homonim atau equivokal (musytarak lafzhi), tetapi kalau dipandang dari sudut individu-individu luarnya (misdaq, extensi) maka sifat-sifat tersebut adalah berbeda dan bergradasi.[14]
Oleh karena itu, sebagaimana dalam kaidah eksistensi (ontologi) bahwa perbedaan dalam individu-individu luar tidak menyebabkan timbulnya perbedaan dalam pengertian (komprehensi) eksistensi sehingga bersifat homonim (musytarak lafzhi).
Berkenan dengan masalah ini, Mulla Shadra mengungkapkan persoalan ilmu sebagai contoh, ia menyatakan bahwa hakikat ilmu adalah satu dimana defenisinya adalah hadirnya yang diketahui (ma'lûm) di sisi yang mengetahui (âlim), hakikat ilmu ini teraktual dalam bentuk sifat kesempurnaan bagi individu-individu makhluk tapi dzat makhluk berbeda dengan sifat ilmu tersebut, hal ini berbeda dengan Wâjib al-Wujud dimana pada tingkatan dzat-Nya adalah identik dengan seluruh sifat-Nya tapi seluruh sifat tersebut masing-masing memiliki pengertian yang berbeda.[15]

b. Teori dari Para Teolog dan Filosof Masehi Barat

Setelah mengenal karakteristik-karakteristik bahasa agama dalam sudut pandang filsafat dan teologi Islam, sekarang kita berusaha mengungkapkan apa yang dilukiskan tentang bahasa agama dari kalangan filosof dan teolog Kristen Barat sehingga kita juga dapat mengenal kekhususan-kekhususan bahasa agama yang terdapat dalam teologi dan filsafat Kristen.

1. Teori Analogi Thomas Aquinas
Thomas Aquinas, teolog dan filosof besar Masehi, dalam masalah bahasa agama berpijak pada teori analogi. Ia menjelaskan bahwa sifat-sifat dan predikat-predikat yang dinisbahkan kepada Tuhan seperti adil, ilmu dan kuasa juga berlaku bagi makhluk-makhluk; sebagamana dalam ayat 13 dan 14 bab ketiga kitab Taurat, Tuhan disifatkan dengan eksistensi, dan makhluk-makhluk juga tersifatkan dengan sifat ini. Tetapi predikat-predikat ini untuk masing-masing dua subyek tidak dapat digunakan dalam bentuk equivokal (homonim, musytarak lafzhi) dan univokal (musytarak maknawi); misalnya antara keadilan Tuhan dan keadilan manusia yang mempunyai hubungan dan keserupaan, sementara predikat adil tersebut tidak equivokal, dan dari dimensi bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di antara Tuhan yang tidak terbatas dan manusia yang terbatas maka predikat tersebut juga tidaklah univocal. Dalam hal ini Aquinas memperlihatkan suatu bentuk analogi dalam penggunaan yaitu keserupaan yang identik dengan perbedaan dan perbedaan yang identik dengan keserupaan, ia membolehkan penggunaan satu kata dalam dua wilayah yang berbeda.[16]
Demikian pula ungkapan Gilson, sebuah kata dalam bentuk univokal yang dipredikasikan kepada subyek sebagai genus, difrensia atau aksiden atas subyek itu, akan tetapi tidak satupun dari predikat-predikat tersebut (dengan makna tersebut) dinisbahkan kepada Tuhan. Dalil dari konklusi tersebut dapat ditemukan dalam esensi hubungan yang berlaku di antara maujud-maujud lain dengan Tuhan… Tuhan identik dengan eksistensi. Setiap yang ada pada Tuhan bersumber dari keniscayaan dzat-Nya, sementara apa yang ada pada maujud-maujud lain diperoleh dari jalan partisipasi. Seluruh kesempurnaan secara hakiki dan esensial disandarkan kepada Tuhan sementara untuk maujud-maujud lain hanya dipredikasikan secara aksiden. Dari sisi lain, kita tidak dapat memandang bahwa di antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya terdapat pertentangan dan perbedaan yang eksitrim, dalam bentuk bahwa sifat-sifat tersebut hanya digunakan dalam bentuk homonim. Pandangan ini menurut James Ross menjatuhkan manusia ke dalam jurang penyerupaan (tasybih) dan mematikan rasionalisasi (ta'thil).[17]
Thomas Aquinas mengungkapkan teori analogi dan menafikan homonim serta univokal di antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya sesudah menerima bahwa statmen-statmen keagamaan bermakna dan bersumber dari realitas.
Problem mendasar dari teori di atas tidak lain adalah ia (Thomas Aquinas) menyangka bahwa jika kita menerima univokal sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat manusia maka akan terperangkap pada penyerupaan dimana kesatuan makna terimplikasi dari kesatuan individu, dengan kata lain terjadi ia menyamakan antara pengertian (komprehensi) dan individu luar (misdaq). Namun sebagaimana dalam pembahasan Mulla Shadra yang berkenan dengan masalah ini, homonim tidak akan menyebabkan penyerupaan, alasan yang utama dalam konteks ini adalah terdapat perbedaan individual antara Tuhan dan makhluk walaupun terdapat kesamaan makna antara keduanya.

2. Teori Positivisme Logikal
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mengalami banyak perubahan mendasar dalam perjalanan sejarahnya. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Francis Biken seorang filosof berkebangsaan Inggeris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.
Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran. Kesimpulan pandangan ini adalah agama dan filsafat (proposisi-proposisi agama dan filsafat) ambiguitas dan tidak bermakna, karena menurut kaum positivisme syarat suatu proposisi memiliki makna adalah harus bersifat analitis, yakni predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian dipredikasikan atas subyek itu sendiri dan kebenarannya lahir dari proposisi itu sendiri serta pengingkarannya menyebabkan kontradiksi, atau mesti bersifat empiris, yakni melalui proses observasi dan pembuktian.
Dengan demikian, sebagaimana ungkapan Kornop – salah seorang anggota dari Lingkaran Wina – dalam suatu risalah berjudul "Menolak metafisika dengan analisis logikal teologi", kalimat-kalimat yang mengungkapkan perasaan (affective), seperti: alangkah indahnya cuaca! Atau pertanyaan, seperti: Di manakah letak kota Qum? Atau kalimat-kalimat perintah, metafisika dan agama, karena kalimat-kalimat dan proposisi-proposisi tersebut tidak melewati proses observasi dan eksprimen maka serupa dengan proposisi-proposisi yang tidak benar (bohong).
Kaum Positivisme, seiring dengan perjalanan waktu, mengubah pandangannya yang ekstrim dan perlahan-lahan tidak menegaskan kemestian pembuktian dan eksperimen dalam menguji kebenaran suatu proposisi dan bahkan eksprimen tidak lagi dijadikan tolok ukur kebenaran proposisi. Mereka menyadari bahwa jika tolok ukur kebenaran (memiliki makna) proposisi-proposisi adalah melewati proses pembuktian dan eksperimen, maka sangat banyak proposisi-proposisi empiris yang tidak akan bermakna (tidak benar), karena tidak dapat dibuktikan secara yakin (100%). Mazhab filsafat ini dalam bagian lain mengakui bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat realitas – dalam bentuk pembuktian, penegasan, dan bahkan pembatalan – tetapi hanya sebatas pemuasan akal.[18]
Kesimpulan dari semua pandangan kaum Positivisme adalah bahwa proposisi-proposisi agama yang karena tidak melewati observasi dan eksprimen maka tidak dikategorikan sebagai makrifat dan pengetahuan yang bermakna (baca: proposisi agama tidak benar) dan bahasa agama karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara eksprimen, maka tidak menjadi makna yang dapat diperhitungkan.
Mazhab Positivisme mendapatkan kritikan dan sanggahan yang berat dari pendukung-pendukungnya sendiri, seperti Wittgenstein dan Poper, dibawah ini akan diungkapkan sebagian dari kritikan-kritikan mereka:

1.Teori evolusi dan tiga tahapan dari Agust Comte sama sekali tidak memiliki bukti sejarah yang otentik dan argumen keilmuan yang akurat, landasan ketidakbenaran teori tersebut adalah karena menghubungkan tahapan-tahapan sejarah dari sistem masyarakat Eropa pada zaman itu dan kemudian menggeneralisasikan pada seluruh tahapan sejarah dunia. Di samping itu, dalam filsafat ilmu kontemporer para ilmuwan telah membahas dan mengkaji tentang kebutuhan ilmu terhadap filsafat dan pengaruh metafisika terhadap teori-teori ilmu.
2.Demikian pula asas Positivisme tentang tolok ukur kebenaran proposisi yang menetapkan bahwa proposisi hanya memiliki makna (kebenaran) apabila dapat dieksperimenkan dan diobservasi. Dan proposisi-proposisi yang non-empiris dikatakan tidak bermakna sebenarnya tidak berangkat dari asas analisis dan tautologi (kebenaran tampak dari dirinya sendiri) dan juga bukan berdasarkan sintetis yang dapat dibuktikan dengan penyaksian dan eksperimen.
3.Kaum Positivisme memandang bahwa seluruh proposisi-proposisi metafisika tidak bermakna; padahal sebagian dari proposisi tersebut bersifat analitik, seperti: setiap akibat membutuhkan sebab; sedangkan menurut mereka proposisi-proposisi analitik adalah bermakna.
4.Menurut mazhab ini, secara prinsipil proposisi-proposisi agama tidak sampai pada tahapan yang benar dan bohong, oleh karena itu, penegasian benar dan bohong dari pendukung mazhab ini yang dinisbahkan terhadap proposisi-proposisi agama adalah tidak bermakna.
5.Kritikan kita yang paling mendasar terhadap Positivisme adalah menyangkut masalah-masalah yang prinsipil dan berasas. Di samping kita mengakui kebenaran metode empiris juga memandang sah metode logikal dan rasional dalam meraih makrifat. Kita memandang benar semua metode logikal, rasional, syuhudi, naqli (teks suci)[19] dan sejarah.[20]
Setelah kami menampilkan dua bentuk pendekatan dan teori terhadap bahasa agama yang terdapat dalam teologi dan filsafat Kristen dan Barat, untuk tidak larut dalam pembahasan yang berkepanjangan, maka kami cukupkan pengenalan terhadapnya dengan menggunakan dua pendekatan dan teori tersebut. Kendatipun pada hakikatnya pembahasan bahasa agama yang ada pada teologi dan filsafat Kristen dan Barat ini adalah jauh lebih luas serta sangat kompleks (masih terdapat berbagai aliran dan pandangan, seperti teori analitik bahasa, teori simbolik, teori permainan bahasa (language game) dan…), bahkan boleh dikatakan bahwa hingga sekarang ini, pembahasan tersebut belum tuntas dan masih belum ditemukan pemecahannya yang akurat yang bebas dari berbagai kelemahan dan kritikan.
Adapun dalam teologi dan filsafat Islam meskipun pembahasan ini tidak begitu luas dan tidak terdapat berbagai aliran dan pandangan, akan tetapi berkat kemurnian dan keorisinalan ajaran Islam (kitab suci al-Qur'an) serta ilham dan petunjuk yang didapatkan oleh para teolog dan filosof Islam dari kitab suci tersebut sehingga menyebabkan pandangan dan pemikiran mereka dalam masalah ini mengarah pada kesatuan dan keselarasan universal (misalnya mereka berpandangan bahwa proposisi-proposisi agama adalah bermakna), walaupun masih terdapat perbedaan secara partikular, misalnya perdebatan tentang sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya apakah bersifat homonim atau univokal.[]



________________________________________
[1] . Amir Abbas Ali Zamani, Zabône Dîn; dalam bentuk pengungkapan pertanyaan-pertanyaan dan penganalisaan serta penguraian jawaban-jawaban yang berhubungan dengannya.
[2]. Setiap dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, telah diberikan jawabannya oleh pemikir dan penulis muslim dan bukan muslim, yang dalam tulisan terbatas ini tidak akan diuraikan, maka dari itu untuk memahami topik urgen ini perlu merujuk pada kitab-kitab yang membahas tentang "bahasa agama".
[3] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 329-330.
[4] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 330.
[5] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal.330.
[6] . Izzuddin Reza Nezyood, Kalâm-e Tathbîqi, hal. 96-97.
[7] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 118.
[8] . Sifat yang terinderai yang identik dengan yang disifati
[9] . Sifat yang terinderai tapi tidak identik dengan yang disifati.
[10] . Sifat yang terkonsepsi dengan akal yang identik dengan yang disifati.
[11] . Sifat yang terkonsepsi dengan akal tapi tidak identik dengan yang disifati.
[12] . Shadruddin syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 123.
[13] . Lihat makalah kami yang berjudul Shirful Wujud.
[14] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 124-125.
[15] . Ibid, hal. 125.
[16] . Akli wa I'tiqad-e Dîni, Michael Peterson, penerjemah: Ahmad Naraqi. Hal. 256-257.
[17] . Kalam Jadîd, Abdul Husain Khusru Panoh, hal.332.
[18] . Abdul Husain Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 334 -335.
[19] . Dalil-dalil yang bersumber dari teks-teks suci agama, seperti hadis Nabi dan kitab suci al-Qur'an, Injil, Taurat dan lain sebagainya.
[20] . Abdul Husain Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 336.

3.07.2008

PERAN WANITA (Menurut Aminah Wadud)

A. Pendahuluan

Sebagai agama yang membenarkan dan melengkapi ajaran-ajaran sebelumnya, Islam datang sebagai rahmatan lil alamin, rahmat untuk sekalian alam. Salah satu ajarannya yang sangat bernilai adalah keadilan antara sesama umat manusia. Tidak sedikit ayat-ayat di dalam al-Qur`an yang menyebutkan bahwa umat manusia, laki-laki ataupun wanita, siapapun di antara mereka yang beriman dan beramal shaleh, maka akan mendapatkan ganjaran yang sama dari Allah swt.

Ajaran Islam mengenai keadilan antara laki-laki dan wanita, menimbulkan kegelisahan di diri Amina Wadud ketika melihat keterpurukan wanita Islam di segala bidang. As a fully human agency, ia mulai mencari penyebab dari keterpurukan tersebut dengan melihat kepada sumber ajaran Islam terkait dengan wanita. Ia dapati, bahwa mayoritas penafsiran dan hasil hukum Islam ditulis oleh ulama pria dan seringkali membawa bias pada pandangan mereka.1 Menurutnya, budaya patriarki telah memarginalkan kaum wanita, menafikan wanita sebagai khalifah fil ardh, serta menyangkal ajaran keadilan yang diusung oleh al-Qur`an.2Ia tertantang dan berjuang (jihad) untuk melakukan reinterpretasi terhadap masalah tersebut dengan menggunakan metode Hermeneutik.3 Kegelisahan ini akhirnya menginspirasikan ditulisnya buku Qur`an and Woman, kemudian Inside The Jihad Gender, Women’s Reform in Islam, karya yang membuat sebuah reformasi terhadap wanita islam dan merupakan grand proyek intelektualnya sehinggga pemikiran dan perannya mulai diperhitungkan.

Sekaitan dengan dirintisnya fikih yang berkeadilan jender oleh feminis Islam, maka di samping mengutip pemikirannya dalam buku Inside The Gender Jihad, Women’s Reform In Islam, penulis juga banyak mengutip -bahkan mayoritas- pemikiran yang dirangkumnya dalam karyanya Qur`an and Woman di atas. Hal ini dikarenakan fikih yang ia rintis nantinya adalah produk dari reinterpretasinya terhadap interpretasi ulama terdahulu terhadap ayat dan hadis tentang wanita.

B. Biografi

Meskipun pemikirannya banyak dimuat di beberapa media, lebih-lebih semenjak terjadinya ‘jum`at bersejarah, dimana ia bertindak sebagai imam sekaligus k
hathib shalat jum’at di ruangan Synod House di Gereja Katedral Saint John The Divine di kawasan Manhattan, New York, Amerika Serikat, 18 Maret 2005 lalu, namun tidak banyak diketahui secara rinci mengenai riwayat hidup tokoh ini. Dari beberapa literatur dan situs, penulis menemukan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1952, di Amerika.
Nama orang tuanya tidak diketahui, namun ia adalah seorang anak pendeta yang taa4 Ia mengakui bahwa ia tidak begitu dekat dengan ayahnya dan ayahnya tidak banyak mempengaruhi pandangannya. Hidayah dan ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam, mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimah syahadah pada hari yang ia namakan Thanksgiving day, tahun 1972.5

Belum diketahui jenjang pendidikan yang ia lalui hingga mengantarkannya menjadi seorang professor studi Islam di Departemen Studi Islam dan Filsafat Universitas Commonwealth di Richmond, Virginia. Namun dalam beberapa literature, ia merupakan seorang yang aktif di berbagai organisasi perempuan di Amerika, berbagai diskusi tentang perempuan, serta gigih menyuarakan keadilan Islam terhadap laki-laki dan perempuan di berbagai diskusi ilmiah pada beberapa daerah maupun Negara. Ia mendirikan organisasi Sister Islam di Malaysia.

Dalam bukunya, Inside The Gender Jihad, ia menulis bahwa ia telah menjadi the single parent lebih dari 30 tahun bagi empat orang anaknya. Hal ini, menurutnya, merupakan awal jihadnya dalam memperjuangkan hak-hak keadilan bagi para wanita Islam.6

C. Beberapa Konsep Keadilan Jender (Gender Justice) dalam Al-Qur`an menurut Amina Wadud

Berikut ini akan diuraikan beberapa hal terkait dengan ayat-ayat tentang keadilan jender dalam al-Qur`an serta sejumlah kontroversi hak dan peran wanita yang kerapkali ditafsirkan sebagai bentuk superioritas pria atas wanita.

1. Penciptaan manusia

Meskipun terdapat perbedaan antara perlakuan terhadap pria dan perlakuan terhadap wanita ketika al-Qur`an membahas penciptaan manusia, Amina berpendapat tidak ada perbedaan nilai esensial yang disandang oleh pria dan wanita. Oleh sebab itu tidak ada indikasi bahwa wanita memiliki lebih sedikit atau lebih banyak keterbatasan dibanding pria.

Semua catatan al-Qur`an mengenai penciptaan manusia dimulai dengan asal-usul ibu-bapak pertama : “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga..”(QS, 7:27). Amina menjelaskan bahwa kita menganggap ibu-bapak kita yang pertama serupa dengan kita. Meskipun anggapan ini benar, tetapi tujuan utama bab ini lebih menekankan pada satu hal: proses penciptaan mereka. Semua manusia setelah penciptaan kedua makhluk ini, diciptakan di dalam rahim ibunya.7

Dalam menjelaskan firman Allah QS, 4:1, penulis menekankan penjelasannya tentang pengertian dan maksud dari kata min dan nafs. Menurutnya, kata min, memiliki dua fungsi. Yang pertama, digunakan sebagai preposisi `dari`, untuk menunjukkan makna menyarikan sesuatu dari sesuatu lainnya. Adapun yang kedua, digunakan untuk mengatakan `sama macam atau jenisnya`. Setiap penggunaan kata min dalam ayat tadi telah ditafsirkan dalam salah satu atau kedua makna tadi, sehingga hasilnyapun berbeda.8

Adapun maksud dari kata nafs, bisa digunakan secara umum dan teknis. Al-Qur`an tidak pernah menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan ciptaan lain selain manusia. Di dalam penggunaan secara teknis, kata nafs dalam al-Qur`an menunjukkan bahwa seluruh umat manusia memiliki asal usul yang sama.9 Meskipun secara tata bahasa kata nafs merupakan kata feminin (muannas), namun secara konseptual nafs mengandung makna netral, bukan untuk laki-laki, bukan pula untuk perempuan.

Dalam catatan al-Qur`an mengenai penciptaan, Allah tidak pernah merencanakan untuk memulai penciptaan manusia dalam bentuk seorang laki-laki, dan tidak pernah pula merujuk bahwa asal usul umat manusia adalah adam.10 Al-Qur`an bahkan tidak pernah menyatakan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs Adam, seorang pria. Hal yang sering diabaikan ini sangat penting karena penciptaan manusia versi al-Qur`an tidak dinyatakan dalam istilah jenis kelamin.11

2. Persamaan Ganjaran di Akhirat

Laki-laki dan wanita adalah dua kategori spesies manusia yang dianggap sama atau sederajat dan dianugerahi potensi yang sama atau setara. Tak satupun terlupakan dalam al-Qur`an sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia yang mengakui dan mempercayai kebenaran yang pasti. Al-Qur`an menghimbau semua orang beriman, laki-laki dan perempuan untuk membarengi keimanan mereka dengan tindakan, yang dengan begitu mereka akan diganjar dengan pahala yang besar. Jadi, Al-Qur`an tidak membedakan pahala yang dijanjikannya.12

Dalam menjelaskan QS, 40:39-40, (wa man ‘amila shalihan min dzakarin aw untsa wa huwa mukmin fa ulaika yadkhuluna al-jannah), Amina menekankan kata man dan ulaika. Kedua kata tersebut mengandung pengertian netral, tidak laki-laki dan tidak pula khusus perempuan. Sehingga masing-masing manusia akan memperoleh ganjaran bukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan atas tindakan yang dilakukan oleh setiap individu (lihat juga QS, 6:94).

3. Darajat dan fadhdhala

Amina mengutip sebuah ayat yang membedakan derajat antara pria dan wanita, yang artinya:”Wanita-wanita yang ditalak, hendaknya menahan diri (menunggu) tika kali quru`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya. Dan suami-suaminya berhak rujuk padanya dalam masa iddah tersebut, jika mereka (para suami tersebut) menghendaki ishlah. Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, memiliki satu tingkat (derajat) kelebihan daripada istrinya. Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (QS, 2: 228).

Ayat ini menunjukkan bahwa derajat yang dimaksud di atas adalah hak menyatakan cerai kepada istri. Sebenarnya wanita bisa saja minta cerai, tetapi hal ini dikabulkan setelah adanya campur tangan pihak yang berwenang (misalnya hakim).13

Amina berpendapat, bahwa beranggapan bahwa makna derajat dalam ayat ini sama dengan kebolehan kesewenang-wenangan laki-laki terhadap wanita, akan bertentangan dengan nilai kesamaan (keadilan) yang diperkenalkan dalam al-Qur`an sendiri untuk setiap individu, bahwa setiap nafs akan memperoleh ganjaran sesuai dengan apa yang dia upayakan. Adapun, kata ma’ruf diletakkan mendahului kata darajah untuk menujukkan bahwa hal tersebut dilakukan terlebih dahulu. Dengan demikian, hak dan tanggung jawab wanita dan pria adalah sama.

Selanjutnya, Amina juga concern dalam menafsirkan kata Qawwam dan fadhdhala yang terdapat dalam QS, 4:34. Menurutnya, dua kata tersebut erat kaitannya dengan kata penghubung bi. Di dalam sebuah kalimat, maknanya adalah karakteristik atau isi sebelum kata bi adalah ditentukan berdasarkan apa-apa yang diuraikan setelah kata bi. Dalam ayat tersebut, pria-pria qawwamuuna ‘ala (pemimpin-pemimpin bagi) wanita-wanita hanya jika disertai dua keadaan yang diuraikan berikutnya. Keadaan pertama adalah mempunyai atau sanggup membuktikan kelebihannya, sedang persyaratan kedua adalah jika mereka mendukung kaum wanita dengan menggunakan harta mereka. Jika kedua kondisi ini tidak dipenuhi, maka pria bukanlah pemimpin bagi wanita.

Dalam tulisan lain, Amina menjelaskan bahwa kata bi diatas sekaitan dengan ma fadhdhlallah (apa yang telah Allah lebihkan untuk laki-laki, yakni warisan), dan nafkah yang dia berikan kepada istrinya. Meski menurutnya, kelebihan warisan antara laki-laki dan perempuan masih debatable. Dimana bagian warisan absolute pria tidak selalu berbanding dua dengan wanita. Jumlah sesungguhnya sangat tergantung pada kekayaan milik keluarga yang akan diwariskan.14

Lebih jauh, Amina menjelaskan bahwa nafkah sebagai seorang pemimpin hendaknya diterapkan dalam kaitannya hubungan kedua belah pihak dalam masyarakat secara keseluruhan. Salah satu pertimbangannya adalah tanggung jawab dan hak wanita untuk melahirkan anak. Tanggung jawab melahirkan seorang anak merupakan tugas yang sangat penting. Eksistensi manusia tergantung pada hal tersebut. Tanggung jawab ini mensyaratkan sejumlah hal, seperti kekuatan fisik, stamina, kecerdasan, dan komitmen personal yang dalam. Sementara tanggung jawab ini begitu jelas dan penting, apa tanggung jawab seorang pria dalam keluarga itu dan masyarakat luas?. Untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan, dan untuk menghindari penindasan, Al-Qur`an menyebut tanggung jawabnya sebagai qiwamah. Amina menambahkan bahwa wanita tidak perlu dibebani dengan tanggung jawab tambahan yang akan membahayakan tuntutan penting tanggung jawab yang hanya dia sendiri yang bisa mengembannya.15

4. Perceraian

Perceraian merupakan pilihan hukum antara pasangan yang telah menikah, setelah mereka tidak bisa menyatukan perbedaan yang timbul antara keduanya. Tetapi keadaan yang telah dibahas tadi, yang mengizinkan pria memiliki darajah (kelebihan) atas wanita, telah dianggap sebagai indikasi adanya ketaksejajaran dalam al-Qur`an- yaitu pria memiliki hak talak. Tidak seperti wanita, kaum pria bisa saja berkata ‘saya ceraikan kamu ‘ untuk memulai tata cara perceraian.

Al-Qur`an memang tidak tidak menyebutkan adanya wanita-wanita yang meminta talak dari suaminya, sehingga kenyataan ini digunakan untuk mengambil kesimpulan bahwa wanita tidak memiliki hak talak. Kesimpulan terakhir sangat bertolak belakang dengan adat istiadat zaman pra-Islam dimana wanita dapat dengan mudahnya memalingkan wajahnya untuk menunjukkan penolakannya atas hubungan perkawinan dengan seorang pria. Tidak ada satu petunjukpun dalam al-Qur`an yang mengisyaratkan bahwa seluruh kewenangan talak ini harus direnggut dari kaum wanita. Yang lebih penting lagi menurutnya, hendaknya persoalan rujuk atau cerai dilakukan dengan cara ma’ruf dan menguntungkan kedua belah pihak.16

Demikianlah beberapa konsep keadilan jender dalam al-Qur`an menurut Amina Wadud. Sebuah usaha untuk menyampaikan tujuan ajaran al-Qur`an mengenai keadilan bagi seluruh umat Islam. Beberapa persoalan lain yang ia gagas tampak lebih fleksibel dan dekat dengan konsep keadilan yang diusung ajaran Islam, seperti masalah perawatan anak, dimana ia menekankan bahwa hal tersebut bukan hanya merupakan kewajiban istri saja, tapi merupakan kewajiban suami dan istri sebagaimana tersurat dalam QS, 2:233. Apalagi apabila di dalam sebuah rumah tangga bukan hanya suami yang bekerja, tapi istri juga dituntut memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini menurut penulis, sangat baik untuk diterapkan sehingga kedua belah pihak dapat terjalin kemitraan dan kebersamaan tanpa ada salah satunya yang tertindas.

Reinterpretasi yang ia lakukan diharapkannya dapat menjadi budzur dari terciptanya fikih berkeadilan jender. Dasar pijakannya yaitu, tujuan dari ajaran Islam adalah keadilan antara spesies umat manusia.17 Jika keadilan tidak terwujud, berarti fikih klasik selama ini hanyalah merupakan ijtihad yang sarat dengan kepentingan jenis tertentuyang mengatasnamakan kepentingan Agama.18

Ia sepakat dengan membedakan pengertian antara syariah dan fikih. Dalam menguatkan argumennya ia mengutip pendapat Ibn Qayyim al-Jauziyyah bahwa fondasi daripada syari’ah adalah kebijaksanaan dan perlindungan tehadap hak-hak manusia. Secara keseluruhan semua itu tertuju pada keadilan, rahmat, dan kebijaksanaan. 19Seluruh wanita harus memperjuangkan tujuan ini.20

Akan tetapi, selain konsep-konsep di atas, kiranya perlu pula dikritisi lebih jauh pandangannya yang mengkritik persoalan saksi dalam Islam, pewarisan, poligami dan tidak kalah pentingnya mengenai tindakannya sebagai imam dan khathib di gereja Manhattan, New York, dimana makmumnya terdiri dari barisan tiada batas antara laki-laki dan wanita serta adanya beberapa wanita bahkan muadzdzinah yang tidak menutup aurat yang terkesan belum matang dan terkesan dipaksakan. Menurut penulis, sebuah tindakan, apalagi bersifat ibadah, terdapat ketentuan-ketentuan yang telah mengatur. Hal itupun haruslah dilakukan dengan pengkajian secara mendalam terhadap hadis-hadis terkait, sebagai sumber ajaran Islam kedua.

Keadilan jender guna mencapai keselamatan seluruh umat manusia memang harus diperjuangkan, sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Namun, penulis berpendapat bahwa hal tersebut harusnya tetap berada pada koridor kesadaran akan keberbedaan fisik dan psikologi antara kedua spesies, wanita dan pria. Disitulah letak kebijaksanaan Islam sehingga keduanya dapat saling melengkapi dan berdampingan. Allah SWT Maha Tahu yang terbaik untuk hamba-hambaNya.

D. Penutup

Satu hal yang perlu diberikan apresiasi, bahwa pemikiran dan perannya telah menantang wanita Islam untuk mengejar ketertinggalan dan menimbulkan kesadaran akan eksistensi mereka sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dimana dalam segala aspek kemajuan, ia setara dengan pria. Amina telah berusaha menampilkan sejumlah aspek persamaan jender dalam weltanschauung al-Qur`an. Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi harkat dan kehormatan wanita.

Spirit dan tantangan ini selain ditujukan kepada reformasi wanita islam, juga mengajak kaum pria untuk menyadari bahwa Islam sendiri tidak pernah menyebutkan adanya superioritas antara pria dan wanita. Bahkan sebuah hadis riwayat Thabrani dan Ibnu Majah menyebutkan bahwa sebaik-baik pria adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istri.

ket:

1Ia memfokuskan penelaahan kepada Tafsir al-Kasysyaf, karya al-Zamakhsyariy dan Fi Zhilal al-Qur`an, karya Sayyid Quthb, serta banyak mengutip pendapat Abu al-A’la al-Maududiy.

2Dikutip dari Khalid aboe al-Fadhl dalam memberikan kata pengantar dalam: Amina Wadud, Inside the Gender Jihad, Women’s Reform in Islam, (England: Oneworld Publications), 2006, h. xii lihat juga: h. 50 dan 187

3Amina, Inside.., h. 188.

4Ibid, h. 4.

5Ibid, h. 9.

6Ibid, h. 2 dan 113-119

7Amina Wadud Muhsin, Qur`an and Woman, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti), 1992, h. 16.

8Ibid, h. 18.

9Ibid, h. 19.

10Ibid, h. 20.

11Ibid

12Ibid, h. 15, Lihat juga: Amina, Inside.., , h. 189.

13Amina, Qur`an.., h.69

14Ibid, h. 73.

15Ibid

16Ibid, h. 79-80

17Amina, Inside.., h. 50 dan 191.

18Ibid, h. 52-53.

19Ibid, h. 48-49.

20Ibid, h.52.

Daftar Kepustakaan

Wadud, Amina, Inside the Gender Jihad, Women’s Reform in Islam, England: Oneworld Publications, 2006

--------, Qur`an and Woman, Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1992

www. Google. Com, dengan kata kunci Amina Wadud dan Ummu Waraqah

2.18.2008

Pemikiran Tokoh Islam Liberal di Indonesia; Nurcholis Masjid dan Harun Nasution

NURCHOLIS MADJID
A.Sekularisasi
Tokoh Islam liberal atau liberalisme Islam terkemuka di Indonesia tidak lain yakni Nurcholish Madjid. Doktor dari Chicago university ini mempelopori gerakan sekularisme di Indonesia. Dan sama dengan Harun Naution merupakan seorang ”pioner” dalam mengembankan Islam liberal di Indonesia.
Nurcholis madjid berpendapat sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecendrungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaraan suatu nilai dihadapkan kenyataan material, moral atapun hitoris, menjadi sifat kaum muslimin.
Sekularisme dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifa Allah di dunia. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu dihadapan Tuhan.
Sekularisasi ialah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapanya dalam membina kehidupan duniawi. Dan terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya. Paham ini adalah paham keduniawian, paham ini mengatakan bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan terakhir. Tiada lagi kehidupan sesudahnya kita semua, yang hidup ini adalah makhluk sekuler, artinya kita sekarang masih berada di dalam alam sekuler duniawi karena belum pindah ke alam akhirat.
Perbedaan sekularisme dan sekularisasi sebagai paham dan proses. Sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin bahwa telah terjadi dan akan terus terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya hari kemudian dan prinsip ketuhanaan.
Namun karena gempuran kritik yang begitu gencar terhadap istilah sekularisasi itupun ditinjau kembali oleh Nurcholis madjid. Dalam tulisannya, “sekularisasi ditinjau kembali” Nurcholis mengatakan terhadap perbedaan istilah “sekular” sekularisasi dan sekularisme itu, maka adalah bijaksana untuk tidak mengunakan istilah-istilah tersebut dan mengantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.
Sebenarnya, subtansi pemikiran Nurcholis Madjid adalah ia ingin menempatkan hal-hal yang sifatnya dunia yang profan pada tempatnya dan yang sifatnya keakhiratan atau kaitannya dengan masalah teologis juga pada tempatnya. Namun tampaknya ia kesulitan dalam menemukan istilah yang tepat sehingga menimbulkan reaksi yang bertubi-tubi.
B.Modernisasi
Modernisasi identik dengan rasionalisasi atau hampir identik dengan rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak akhliah, dan menggantikannya dengan pola berfikir dan tata kerja yang akliah. Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitroh atau sunnahtullah. Sunnatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk dapat menjadi modern manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu. Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam, melahirkan ilmu pengetahuan alam sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akalnya sehingga modern berarti juga rasional.
Nurcholis mengatakan bahwa modernisasi adalah sebuah keharusan, malahan kewajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Modern juga berarti progresif dan dinamis. Maka sekalipun bersifat modern itu merupakan suatu keharusan yang mutlak, namun kemoderenan itu sendiri relatif sifatnya, sebab terikat ruang dan waktu. Sesuatu yang sekarang ini dikatakan modern, dapat dipastikan menjadi kolot (tidak modern lagi) di masa yang akan datang. Sedangkan yang modern secara mutlak ialah Allah, pencipta seluruh alam. Jadi modernitas berada dalam suatu proses, yaitu penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif, menuju kepeneman ang mutlak, yaitu Allah.
Hal itu berarti tidak seorang pun manusia berhak mengklaim suatu kebenaran insan sebagai suatu kebenaran yang mutlak. Dengan kata lain seorang muslim semestinya menjadi seorang yang sela bersedia menerima kebenaran-kebenranan baru dari orang lain, dengan penuh rasa tawadhu’ kepada Tuhan.
C.Islam dan konsep negara Islam
Menurut Nurcholis, Islam tidak identik dengan ideologi, ideologisasi Islam yang berlangsung selama ini di dalam masyarakatnya telah merelatifikasikan Islam sebagai ajaran yang universal. Ideologi sendiri sangat terikat oleh ruang dan waktu. Ia mengungkapkan bahw aideologi sosial politik Islam di masa lalu terlalu tegar dan mengabaikan ideologi dengan kondisi-kondisi setempat. Itulah sebabnya ketika ia mulai membicarakan hubungan orde baru dengan Islam. Ia menegaskan bahwa penelitian terhadap perkembangan sosial. Poloitk tidak bisa dilakukan dalam ukuran kemutlakan, tetapi harus dilihat dari kaitan nisbinya dengan hal-hal lain. Islam adalah agama kemanusiaan yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal.
Nurcholish menekankan pemisahan antara Islam dan ideologi, menurut pandangan langsung kepada Islamsebagai ideologi bisa berakibat merandahkan agama itu menjadi setaraf dengan berbagai ideologi yang ada. Dari pemikiran itu terlontarlah suatu ungkapan yang amat terkenal yaitu Islam yes! Partai Islam no! Dari ungkapan itu tampaknya ia berpesan bahwa tidak perlu bahkan tidak wajib seseorang masuk partai Islam, yang paling penting adalah menjalankan ajaran Islam itu sendiri.
Kondisi Islam di Indonesia menurut pandangan Nurcholish mengalami suatu perembesan kultural yang sedikit agak mapan. Nilai-nilai Islam lebih bercorak budaya dalam penampilannya, ketimbang warna asli dari Islam itu sendiri.
Dalam hal kenegaraan, Nurcholish tidak sependapat dengan gagasan negara Islam bahkan ia menilai timbulnya gagasan negara islam, adalah suatu bentuk kecendrungan apologetik. Setiap apologetik itu tumbuh dari dua perkara Yaitu:
•Yang pertama apologi terhadap idiologi-idiologi barat (demokrasi, sosialisme, komunisme). Idiologi-idiologi itu sering bersifat kataliter, artinya menyeluruh dan secara mendetail meliputi setiap bidang kehidupan khsusnya politik, budaya, ekonomi, sosial dan lain-lain.
• kedua ialah legalisme yang membawa sebagian kaum muslim kepikiran apologitis “negara Islam” itu. Legalisme ini menumbuhkan apresiasi serba legalistis kepada Islam, yang berupa pneghayatan keislaman yang menggambarkan bahwa Islam itu adalah struktur dan kumpulan hukum. Legalisme ini merupakan kelanjutan fiqihisme.
Cak Nur walaupun tidak menolak tentang Islam juga menyangkut persoalan pengurusan atas sosial, ekonomi bernegara. Namun ia memerikan tekanan lebih dalam, bahwa Islam merupakan muatan khas sebagai Al-Dien yang menitik beratkan aspek spiritual, sedangkan negara ersifat duniawi masal dengan muatan dimensi dan kolektif.
HARUN NASUTION
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tahun 1919. ia bersekolah di HIS (Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun 1937, lulus dari Moderne Islamietische Kweekschool. Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di American University of Cairo
A. Persamaan Agama
Harun nastion bisa dikatakan ”pioner” dalam mengembankan Islam liberal di Indonesia, sama halnya dengan Nurcholis madjid. Harun berhasil mengembangkan sayap geraknya ke IAIN seluruh Indonesia. Harun nasution merupakan lulusan dari McGill University Kanada, ia berhasil mempengaruhi institusi lembaga Islam setelah pada tahun 1973 bukunya yang berjudul “Islam ditinjau dari berbagai aspeknya” ditetapkan sebagai buku utama mahasiswa IAIN se-Indonesia.
Dalam bukunya Tersebut harun sudah Mulai menyerempet tentang persamaan agama. Setelah mengutip sebagian ayat al Qur’an, jelaslah bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah satu asal. Tetapi perkembangan masing-masing dalam sejarah mengambil jurusan yang berlainan sehingga timbul perbedaan di antara ketiga agama tersebut.
Harun di dalam bukunya hanya menjelaskan secara datar tentang pengertian agama Yahudi dan Nasrani, sehingga pembaca menjadi kurang yakin akan keunggulan agama Islam. Dia tidak mengungkapkan penelewengan-penyelewengan agama Yahudi dan Nasrani. Menurut Harun kemurnian tauhid di pelihara oleh Islam dan Yahudi, sedangkan Naasrani sudah tidak murni lagi dengan adanya konsep trinitas. Namun Yahudi sema atau syahadatnya yakni dengarlah Israel, Tuhan kita satu. Dan Islam yang berbunyi tiada Tuhan selain Allah.
Padahal Dalam berbagai ayat al Qur’an sudah dipaparkan secara jelas bahwa hanya Islam yang benar-benar murni ketahuhidannya. Dalam surat at-Taubah:30
“ Orang-orang Yahudi berkata bahwa Uzair itu putra Allah dan orang Nasrani berkata bahwa Almasih itu putra Allah. Demikian itulah ucapan mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati Allahlah mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling?”
B. Sekularisme
Bukan itu saja, Kengawuran Harun juga terlihat ketika ia memaparakan tentang tema aspek pemgaharuan dalam Islam. Paham pembaharuan atau modernisasi menurutnya mempunyai pengaruh yang besar di barat dan segera memasuki lapangan agama yang di barat dipandang sebagai penghalang bagi kemajuan.
Modernisasi dalam hidup keagamaan di barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Khatolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan dan falsafat modern. Pembaharuan dalam Islam mempunyai tujuan yang sama, namun tidak bagi ajaran-ajaran yang bersifat mutlak. Harun berangapan sekularisme diperlukan meskipun tidak mutlak ajaran-ajaran yang dapat diubah. Karena itu tidak heran bila Harun kemudian memuji-muji tokoh-tokoh yang mengabaikan syariat seperti Rif’at Tahtawi Qasim amin dan lain-lain. Dukungan Harun terhadap sekularisme terlihat ketika ia tidak mengecam sama sekali pendapat Ali abdul Raziq yang berpendapat bahwa sistem khilafah tidak ada dalam Islam.
Harun juga membolak-balikan sejarah Islam dengan ngawur. Sultan Abdul Hamid, khilafah Islam di Turki yang dipuji oleh para ulama Islam karena berpegang teguh pada syariat Islam dan tidak mau menyerahkan Palestina kepada Yahudi dijuluki harun sebagai raja yang absolut, dan mengangap Kemal Attarurk yang menghancurkan kekhalifahan Islam bekerja sama Inggris dan barat lainnya sebagai salah satu tokoh pembaharuan.
C. Modernisme Harun
Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia bukanlah hal baru ketika Harun Nasution mengutarakan berbagai gagasan pemikirannya. Bangsa Indonesia merupakan salah satu gudang pemikiran Islam. Memang, perkembangan pemikiran Islam di Indonesia baru dimulai (secara massif dan aplikatif) sejak sekitar masa pergerakan nasional. Pemikiran Islam pada masa itu juga tidak lepas dari gerakan pembaharuan Islam yang ada di Timur Tengah (terutama Mesir).
Pemikiran Islam di Indonesia berkembang cukup pesat di awal abad ke-20. Hal itu ditandai dengan lahirnya gerakan modernisme. Gerakan modernisme yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat Islam kepada sumber ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman sehingga tidak perlu diperbaharui. Namun, hal ini perlu diangkat lagi ke permukaan masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran pokok tersebut. Pada masa itu, masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi tentu tidak tinggal diam melihat gerakan tersebut.
Reaksi itulah yang juga melahirkan gerakan yang disebut tradisionalisme. Pengusung gerakan modernisme pada saat itu antara lain adalah H.O.S. Tcokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Perubahan dari taqlid kepada ijtihad merupakan akar pemikiran Islam tersebut. Akar pemikiran itu lalu menjalar kepada pemikiran aplikatif dalam kehidupan modern. Beberapa hal yang sering menjadi bahan pembicaraan atau bahkan perdebatan adalah mengenai politik dan negara. Pada tahun 1940-an, terjadi polemik pemikiran politik Islam antara Natsir dan Soekarno.
Pembicaraan mengenai hal ini adalah sebuah respon seorang Mohammad Natsir atas pernyataan pemikiran Soekarno bahwa zaman modern menuntut pemisahan agama dan negara seperti yang dipraktekkan oleh Musthafa Kemal Attaturk Pasha di Mesir. Bahan pembicaraan lainnya adalah mengenai sistem ekonomi yang direlevansikan dengan pembinaan masyarakat menurut Islam. Pemikiran tentang hal tersebut diusung oleh Agus Salim dan Tjokroaminoto ketika mereka (pada masanya masing-masing) berhadapan dengan pihak komunis dan nasionalis. Pada umumnya, sampai pada masa konstituante tahun 1956-1959, pemikiran Islam di Indonesia berkisar pada soal-soal ibadah dan muamalah. Masalah lainnya yang juga diangkat, tidak lebih hanya karena merupakan tantangan pihak lawan yang lebih intens.
Bila kita mengamati perkembangan pemikiran Islam pada awal abad ke-20 dibandingkan pemikiran Harun, maka kita akan melihat warna berbeda dalam pemikiran Harun Nasution. Warna berbeda itu bisa dilihat dari beberapa perspektif yaitu suasana zaman, afiliasi terhadap ormas/parpol, fokus terhadap bidang akademis. Kembali kepada pembahasan paragraf sebelumnya tentang garis besar pemikiran Islam pada awal abad ke-20 sampai masa konstituante, Deliar Noer menarik beberapa kesimpulan tentang corak gerakan masa itu antara lain bahwa pemikiran kalangan Islam masa itu lebih merupakan reaksi atau respon terhadap tantangan yang ada. Ia merupakan reaksi terhadap pemikiran Barat, sekulerisme, komunisme, nasionalisme yang chauvinistis, dan sebagainya.
Selain itu, banyaknya permasalahan yang dihadapi tidak diimbangi dengan tersedianya orang-orang yang ahli dan mempunyai waktu luang sehingga bahasan dan kajian yang dilakukan terhadap salah satu topik kurang mendalam dan mengena. Warna berbeda lainnya yaitu afiliasi terhadap ormas/parpol. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa para tokoh sebelumnya adalah bagian dari ormas atau parpol (entah dia pendiri atau hanya sebatas anggota dan simpatisan). Hal itu secara tidak langsung menjadi salah satu pertimbangan apakah pemikiran yang dikeluarkan tokoh tersebut adalah murni pemikirannya. Perspektif lain yang bisa memperlihatkan warna berbeda pemikiran Harun Nasution adalah fokus yang digelutinya pada bidang akademis. Artinya bahwa pemikirannya adalah sebagai suatu kajian yang bisa disampaikan bahkan dipakai sebagai kurikulum

DAFTAR PUSTAKA
Madjid, Nurcholish. 1989. Islam kemoderenan dan keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Madjid, Nurchlish.2000. Islam doktrin dan peradaban. Jakarta: Paramadina.
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafindo.
Soefudin, Didin. 2003. Pemikiran modern dan postmodern dalam Islam. Jakarta:Grafindo.
Sani, Abdul. 1998. Perkembangan modern dalam Islam. Jakarta: Grafindo.
Saridjo, Marwan. 2005. caknur diantara sarung dan dasi. Jakarta: Penamadani.
Husaini, Adian. Hidayat, Nuim. 2002. Islam liberal. Jakarta : Gema Insani

2.17.2008

Pemikiran Politik Jamaluddin Al-Afghani

A. Riwayat Hidup Jamaluddin al-Afghani
Nama sebenarnya ialah Jamaluddin Bin Safdar tetapi beliau lebih dikenali dengan nama Jamaluddin Al Afghani. Nasabnya sampai kepada Ali Al-Tirmidzi, seorang ahli hadist yang terkenal, lalu terus sampai nasabnya kepada Saiyidina Hasan Bin Ali Bin Abi Talib . Keluarganya berkuasa dan memerintah sebahagian tanah Afghanistan hingga akhirnya kekuasaan mereka dirampas oleh Raja Muhammad Khan. Bapak dan keluarganya pun dipindahkan ke kota Kabul.

Jamaluddin al-Afghani dilahirkan disebuah kampung bernama Asad Abad dalam jajahan negeri Iran pada tahun 1839 Masehi. Semasa kecil Jamaluddin telah mendapat didikan agama yang mantap. Beliau berbakat dan cerdas, pintar dan berwawasan tinggi. Mulanya beliau belajar ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sharaf dan sastra lalu mengkaji pula ilmu-ilmu syariat seperti tafsir, hadist, fiqih, ushul fiqh, ilmu kalam, tasawuf, sejarah, falsafah, mantik, politik, akhlak, ilmu jiwa, ilmu falak dan teori-teori kedoktoran serta ilmu kajian tubuh manusia.

Setelah itu, Jamaluddin merantau ke negeri India dan di sanalah beliau belajar ilmu matematika. Pada tahun 1857 Masehi, Jamaluddin telah pergi menunaikan ibadah Haji dan tinggal di Hijaz selama setahun. Setelah itu beliau telah merantau ke Baitulmaqdis. Semasa pengembaraannya ke negeri-negeri Islam pada waktu itu Jamaluddin berasa sangat sedih sekali mengenangkan keadaan yang menimpa umat Islam di negeri-negeri yang dilewatinya. Sekembali ke negerinya, Jamaluddin telah berkhidmat dengan pemerintah. Dalam masa pemerintahan inilah Inggris telah memainkan jarum untuk memecah belahkan rakyat dengan rajanya hingga terjadi fitnah diantara keluarga raja sendiri sehingga akhirnya Mohammad A'azam Khan dapat menguasai kota Kabul dan Jamaluddin dilantik menjadi orang pertama bertanggungjawab menasihatkan pemerintah Mohammad A'azam Khan . Dengan sebab fitnah-fitnah, usaha-usaha jahat yang dilakukan oleh Inggris itu telah menjadikan Jamaluddin sangat benci terhadap kerajaan Inggris.

Akhirnya Pemerintah Muhammad A'azam mengalah dan lari ke negeri Iran. Walaupun Jamaluddin tidak ikut sama melarikan diri tetapi akhirnya membuat keputusan untuk keluar meninggalkan tanah airnya.

Jamaluddin tidak menetap di sebuah negeri saja, beliau berpindah-pindah menyebarkan seruannya ke mana saja beliau pergi. Beliau telah melawat negara-negara Arab, Mesir, Turki, Iran, Iraq, negeri Eropa, Rusia, Inggris dan dari Paris hingga ke Amerika.

Jamaluddin telah menulis masalah dan krisis di surat-surat kabar di negeri Arab dan Eropa. Beliau fasih dalam berbahasa Arab, Parsi, Turki, Inggris, Perancis dan Rusia hingga menyebabkan beliau mudah berkomunikasi dengan ahli-ahli fikir dan tokoh-tokoh sastra, falsafah dan politik di Timur dan di Barat.

Pengalaman, pemikiran serta keahliannya menjadikan beliau sebagai seorang tokoh besar dunia di waktu itu. Ketika beliau berada di Mesir, beliau telah bertugas di University AI Azhar. Disebabkan pengaruhnya yang mendalam serta pengalamannya yang sangat meluas, kuliah-kuliahnya telah mendapat sambutan yang hangat dari golongan cerdik pandai.

Di mana tempat pun beliau memberi kuliahnya, maka orang ramai akan datang membanjiri tempat itu. Semasa di Mesir, Jamaluddin telah memberi semangat dan dorongan kepada siapa saja. Seorang daripadanya ialah Saud Zaghlul Pasha yang ingin membebaskan negerinya dari kuasa penjajahan dan seorang lagi ialah Shaikh Mohammad Abduh yang menjadi muridnya yang setia.

Pada tahun 1870 Jamaluddin al-Afghani di angkat menjadi Dewa Pendidikan Usmaniah resmi yang reformis.

B. Konsep Politik Al-Afghani
Selama di Mesir Jamaluddin al-Afghani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya, antara lain yang pokoknya :
a. Musuh utama adalah penjajah (Barat),
b. Ummat Islam harus menantang penjajahan dimana dan kapan saja.
c. Untuk mencapai tujuan itu ummat Islam harus bersatu (Pan-Islamisme).

Pan-Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerjasama. Persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Persatuan Islam hanya dapat dicapai bila berada dalam kesatuan dan kembali kepada ajaran Islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Untuk mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut di atas :
a. Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan
b. Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau derajat budi luhur.
c. Rukun iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup
d. Setiap generasi umat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan pendidikan pada manusia yang bodoh dan memerangi hawa nafsu jahat dan menegakkan disiplin .
Dari Mesir, Jamaluddin al-Afghani pergi ke Turki dan tokoh-tokoh terkemuka di sana sangat terpengaruh oleh pengajaran-pengajarannya. Pada tahun 1871 beliau kembali ke negeri Mesir untuk membangkitkan kegemilangan umat Islam dan ajaran-ajarannya. Beliau juga mengkhidmatkan dirinya dalam kerja-kerja kebajikan dan pendidikan. Beliau telah mendesak pihak yang mengiktirafkan bahasa Urdu sebagai bahasa pengantar dalam pemerintah, bahkan menjadikannya sebagai bahasa rasmi negara.

Akibat dari keberaniannya itu beliau telah ditangkap lalu di bawa ke Culcutta. Dari sana Jamaluddin di bawa ke Inggris.

Dikota Paris, Jamaluddin telah mengasaskan Badan "Pertubuhan Alurvatul Vusuka" lalu menerbitkan sebuah akhbar mingguan dalam bahasa Arab yang bertujuan untuk mengobarkan gerakan Pan-Islamisme. Faham yang hendak ditanamkan oleh Jamaluddin al-Afghani akan menjadi mangsa penjajahan Barat satu demi satu kecuali mereka mengorak langkah untuk menyatukan tenaga untuk mengalahkan cita-cita mereka yang jahat itu.

Dari kota Paris Jamaluddin Al Afghani telah ke Moscow dan kemudian ke bandar St.Petersburg. Dimana beliau telah tinggal lebih dari empat tahun. Di sana beliau berjaya membujuk Maharaja Czar Russia bagi membenarkan rakyatnya yang beragama Islam supaya menerbitkan Kitab Al Qur'an dengan bebas serta buku-buku agama yang lain. Al Afghani telah menekankan satu hakikat bahawa keteguhan sebuah negara tidak bergantung kepada tentaranya melainkan semangat rakyatnya.

Bentuk pengajaran Jamaluddin Al Afghani terdapat dua kesimpulan. Pertama beliau menekankan supaya pengajaran agama Islam itu diperbaiki supaya sesuai dan dapat mengikuti tamadun moden dan kedua bertujuan untuk membebaskan negara Islam dari kekuasaan Barat. Beliau berpendapat bahwa umat Islam telah merosot akhlaknya dan lemah semangat serta dikuasai oleh hawa nafsu yang buas. Beliau menaruh keyakinan penuh bahwa kekuasaan Barat kepada negara Islam adalah amat bahaya dengan keadaan demikian. Jika umat Islam tidak berubah, mereka pasti akan menerima nasib yang lebih buruk lagi. Oleh yang demikian umat Islam hendaknya bangkit untuk kembali pada agama dan diri mereka sebagai umat yang mulia lagi terpuji .

Peran Al-Afghani dalam gerakan refor¬masi tertuang dalam beberapa sasaran dari diterbitkannya “Al-Urwa al-Wustqa” di Paris bersama Syaikh Muhammad Abduh di antaranya:
a) pertama, se¬nantiasa membantah tuduhan Barat yang ditujukan kepada orang Islam dengan memutarbalikkan propaganda Barat yang menyatakan bahwa kaum muslimin tidak akan bangkit, selama mereka masih berpegang teguh pada agamanya.
b) Kedua, memaparkan bagi orang-orang Timur realita dan rahasia-rahasia internasional, agar mereka tahu rencana politikus Eropa terhadap Islam. Sehigga, orang-orang Timur tidak mudah terpengaruh oleh propaganda yang mereka gembar-gemborkan.
c) Ketiga, memperkuat hubungan antarumat Islam dan memberikan penjelasan tentang asas-asas solidaritas, untuk menepis intervensi politik luar dan juga seruan untuk menggali khazanah ajaran agama serta menjauhi fanatisme kelompok atau golongan. Selain beberapa sasaran yang termak¬tub di atas, dalam gerakan reformasi, Al-Afghani mempunyai agresivitas untuk menjadikan pemerintahan Islam menjadi satu. Akan tetapi semangat ini tidak mendapat dukungan. Maka kembali ia menyerukan untuk saling tolong menolong antara raja-raja di negara Islam, agar mengatur daerah-daerah kekuasaanya sesuai dengan norma agama. Sedangkan idiologi yang beliau tawarkan adalah agama sebagai balance umat yang di dalamnya terdapat kebahagiaan, kemenangan dan mobilisasi kehidupan. Sementara atheisme adalah bakteri keburukan, penyebab destruksi negara dan umat. Selain itu, dalam perjalanannya beliau sering menawarkan konsep musyawarah, demokrasi dan keadilan dalam pemerintahan .

Malang melintang ke berbagai negara ia lakukan demi tercapainya renaisance (kebangkitan) dunia Islam. Proyeknya itu kemudian dikenal dengan "Pan Islamisme", sebuah gagasan untuk membangkitkan dan menyatukan dunia Arab khususunya, dan dunia Islam umumnya untuk melawan kolonialisme Barat, Inggris, dan Perancis khususnya yang kala itu banyak menduduki dan menjajah dunia Islam dan negara-negara berkembang.

Secara umum, inti Pan-Islamisme Jamaluddin itu terletak pada ide bahwa Islam adalah satu-satunya ikatan kesatuan kaum Muslim . Jika ikatan itu diperkokoh, jika ia menjadi sumber kehidupan dan pusat loyalitas mereka, maka kekuatan solidaritas yang luar biasa akan memungkinkan pembentukan dan pemeliharaan negara Islam yang kuat dan stabil. Berbagai kalangan, seperti ditulis pakar sejarah Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer, menilai ide Jamaluddin itu sebenarnya sebagai entitas politik Islam universal. Mau tak mau, ia pun bersentuhan langsung dengan para penjajah itu.

Dengan gagasannya ini, Al-Afghani mengubah Islam menjadi ideologi anti-kolonialis yang menyerukan aksi politik menentang Barat . Baginya, Islam adalah faktor yang paling esensial untuk perjuangan kaum Muslim melawan Eropa, dan Barat pada umumnya. Namun demikian, pada saat yang sama Al-Afghani juga mendukung ide semacam nasionalisme, lebih tepatnya "nasionalitas" (jinsiyyah) dan "cinta tanah air" (wathaniyyah). Sepintas, dua gagasan ini boleh jadi kontradiktif dengan gagasannya tentang Pan-Islamisme. Namun, tampaknya Jamaluddin tak ambil pusing. Baginya, bila dua 'entitas' itu dapat disatukan menjadi sebuah kekuatan besar yang dapat merubah nasib dunia Islam.

KESIMPULAN
Dari uraian isi makalah ini, maka pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pemikiran yang dimiliki oleh Jamaluddin al-Afghani tentang konsepnya yaitu Pan-Islamisme. Mulanya adalah karena dia telah melihat ketidakadilan dan juga adanya para penjajah yang telah membuat risau masyarakat india pada waktu itu. Nah? Dalam kesempatan itu Jamaluddin ini mulai terang-terangan mengancam keras tindakan yang di lakukan oleh penjajah Barat. (Inggris red).

Setelah itu Jamaluddin akhirnya berhasil mengusir penjajah barat karena berkat atas prakarsanya yaitu model pemikirannya yang membuat heboh rakyat India pada waktu itu. Oleh karena itu Jamaluddin dijuluki sebagai Bapak Pembaharuan.

PENUTUP
Demikianlah ulasan mengenai tokoh pemikir Islam di Abad Modern. Banyak sekali tokoh-tokoh yang sepadan dengan Jamaluddin al-Afghani, namun caranya yang berbeda-beda dalam penerapannya.

Jamaluddin al-Afghani merupakan figur besar dalam dunia Muslim. Penekanannya Islam merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menangkal Barat dan unutk meningkatkan solidaritas kaum Muslim.

Akhirnya penulisan makalah sampai disini dulu mudah-mudahan ada manfaatnya amiin.


DAFTAR PUSTAKA
v Rais.Amin, Islam dan Pembaharuan, PT.Raja Grapindo Persada, Jakarta;1995

v Siriyeh Elizabeth, Sufi dan Anti Sufi, PT. Pusataka Sufi, Yogyakart; 2003.


v Asmuni.Yusran, Pengantar Studi dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta;1996

v Webset,galeria @ KotaSantri.com

Kibod Arabi

Dapatkan Free Graph Quotes