Persamaan antara hermeneutik fenomenologis, hermeneutik dialetikal dan hermeneutik kritik ialah dimana Hermeneutik selalu dihubungkan dengan dua aspek yang saling berhubungan, yaitu mediasi dengan tradisi dan pemahaman subjektif terhadap makna tertentu. Dalam artian bahwa bicara tentang hermeneutik baik hermeneutik fenomenologis, dialetikal, dan kritik yaitu tentang intepretasi dan pemahaman terhadap sebuah teks tertulis maupun tidak (tersirat) bahkan manusia termasuk sebuah teks yang perlu dikaji. Kerena dalam kajian hermeneutik keduanya (intepretasi dan pemahaman red) saling berkaitan. Intepretasi hanya dapat dilaksanakan apabila pemahaman dilakukan dengan cermat.
Persamaan lain dari pandangan ketiga aliran hermeneutik ini adalah dimana membedakan objek kajian ilmu menjadi dua yaitu ilmu fisika dan ilmu humaniora yang mana perlu membedakan ilmu untuk menganisis dengan objeknya manusia. Karena ilmu fisika tidak bisa mengkiji tentang manusia sebab manusia berbeda dengan benda lainnya. Misalnya, ketika kita menaruh sebuah benda katakanlah kursi. Meski kursi tersebut dijemur di bawah terik matahari selama beberapa jam, maka tidak sedikitpun kursi itu bergeser dari tempatnya ke tempat yang lebih teduh. Akan tetapi ketika seseorang disuruh berdiri di bawah terik matahari dengan jangka waktu yang cukup lama, maka ia akan mengalami perubahan yaitu pergi mencari tempat yang lebih teduh setidak-tidaknya ia melakukan pergeseran tempat. Maka tidak layak ketika kita mengkaji sebuah objek yang mempunyai suatu perbedaan yang sangat signifikan dengan satu pandang atau dengan memakai metodologi yang sama yaitu ilmu fisika.
Dalam kajian hermeneutik baik fenomenologis, dialetikal, dan kritik pemahaman ini dikaitkan dengan objek yang dikaji baik teks dan penulis pertama (author) baik dari segi kultur maupun psikologisnya. Misalnya Heidegger sendiri melanjutka secara lebih mendasar perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu humanises/ ilmu-limu sosial yang disebut oleh Delthey. Ciri-ciri benda alami disebut ketegori, sedangkan ciri-ciri keberadaan manusia disebut eksistensial.
Memahami berarti mengarahkan perhatian pada suatu objek, yakni bahasa. Bahasa dapat dipahami sebagai dimensi supraindividual dan dimensi individual. Tugas utama seorang hermeneutik adalah membawa kembali kehandak makna yang menjadi jiwa suatu teks.
Adapun perbedaan ketiga-tiganya ialah pertama dari cara pandang masing-masing tokoh utama dalam melihat sebuah apa yang disebut dengan pemahaman. Misalnya dalam pandangan hermeneutik dealitikal yang dimana perintis utamanya adalah Karl Otto Apel. ia mendefinisikan versetehen tingkah laku manusia sebagai suatu yang dipertentangkan dengan penjelasan berbagai kejadian alam. Apel mengatakan bahwa interpretasi tingkah laku harus dapat dipahami dan diverifikasi secara intersubjektif dalam konteks kehidupan yang merupakan permainan bahasa.
Sehubungan dengan hal itu, lebih jauh Lefevere (1977: 49) menilai bahwa secara keseluruhan hermeneutika dialektik yang dirumuskan Apel sebenarnya cenderung mengintegrasikan berbagai komponen yang tidak berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara tradisional. Apel tampakanya mencoba memadukan antara penjelasan (erklaren) dan pemahaman (verstehen) ; keduanya harus saling mengimplikasikan dan melengkapi satu sama lain. Ia menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat memahami sesuatu (verstehen) tanpa pengetahuan faktual secara potensial.
Dengan demikian, pandangan Apel tersebut sebenarnya mengandung dualitas. Di satu sisi, tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial. Di sisi lain, sekaligus tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial tanpa pemahaman intersubjektif. Dalam hal ini teranglah bahwa "penjelasan" dan pemahaman" dibutuhkan, baik pada ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan (geistewissenschaften) maupun ilmu-ilmu alam (naturwissen-shacften). Pandangan Apel itu dapat dinilai sebagai pikiran modern, karena dia mencoa mempertemukan kedua kutub tersebut.
Inti varian hermeneutika dialektik tersebut-yang tidak mempertentangkan "penjelasan" dengan "pemahaman"-sejalan dengan pandangan Valdes. Dalam pandangannya, bagaimana ia menganggap penting "penjelasan" dan "pemahaman" untuk menjelaskan prinsip interpretasi dalam beberapa teori utamanya, yakni teori historis, formalis, hermeneutika filosofis, dan poststrukturalis atau dekonstruks.
Dalam varian hermeneutika dialektik ini, definisi verstehen yang dikemukakan Apel mengimplikasikan pengertian bahwa tidak ada yang tidak dapat dilakukan ilmuwan. Jika ilmuwan mencoba memahami fenomena tertentu, ia akan menghubungkan dengan latar belakang aturan-atuaran yang diverifikasi secara intersubjektif sebagaimana yang dikodifikasi pada hukum-hukum dan teori-teori. Pengalaman laboratorium pun turut mempengaruhi ilmuwan dalam memahami apa saja yang tengah ditelitinya. Dengan demikian, jelaslah bahwa verstehen pada dasarnya berfungsi untuk memahami objek kajiannya.
Berbeda juga dengan aliran hermenutika fenomenologi dalam melihat sebuah pemahaman misalnya Hans-Georg Gadamer. Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen sebagai kosep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis.
Verstehen, menurut Gadamer, merupakan jalan keberadaan kehidupan manusia itu sendiri yang asli. Varian hermeneutika ini menganggap dirinya bebas dari hambatan-hambatan konsep ilmiah yang bersifar ontologis. Dalam hal ini, agaknya Gadamer menolak konsep hemeneutika sebagai metode. Kendatipun menurutnya hermeneutika adalah pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis. Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan masalah aplikasi yang berhenti pada semua verstehen.
Bagi Gadamer sendiri hermeneutika tidak semata-mata bagaimana menafsiri dengan benar, melainkan fenomena menafsiri itu sendiri. Interpretation of interpretation. Menurutnya, hermeneutika teoritis yang menyarankan pengkosongan pembaca dalam menemukan makna obyektif adalah mustahil. Mustahil manusia bisa megosongkan sejarah hidupnya yang dia sebut horizon. Yang mungkin adalah menjadikan horizon pembaca sebagai pijakan dialektika dalam memahami teks. Empat kunci hermeneutika Gadamer: Pertama, kesadaran terhadap "situasi hermeneutik". Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan seseorang dalam membaca teks. Karena itu, pembaca harus bisa mengatasi subyektifitasya sendiri dalam membaca teks dan bersikap toleran terhadap pembaca lain. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk "pra-pemahaman" pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, pembaca harus menkomuikasian dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks, agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut "lingkaran hermeneutik". Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan "makna yang berarti" dari teks, bukan makna obyektif teks.
Aliran hermeneutik yang ketiga ini adalah hermeneutik kritik. Kecurigaan terhadap klaim kebenaran yang berbasis tradisi adalah dasar bagi timbulnya mazhab hermeneutik baru, yaitu hermeneutika kritis Tradisi dan pemahaman bukanlah sesuatu yang netral, tapi didalamnya ada kesadaran palsu, propaganda, manipulasi informasi, pembatasan pengetahuan, sensor dan lainnya. Hermeneutika kritis ini menjadi semacam perangkat bagi kritik ideologi. Tujuannya untuk menyingkapkan sebab terjadinya distorsi dalam pemahaman dan komunikasi yang kelihatan normal dalam interaksi. Diantara tokoh-tokoh hermeneutika kritis adalah Lorenzer, Sandkuhler dan Paul Ricoeur dan Jurgen Habermas.
Hermeneutik, bagi Habermas, adalah kemampuan untuk menguasai “natural language”, yaitu seni memahami makna yang dapat dikomunikasikan secara lingguistik, serta membuatnya dapat dimengerti ketika terjadi distorsi komunikasi. Refleksi hermeneutik mengandung dua makna, pertama memahami sesuatu dan memahami diri. Kedua, meyakinkan dan mempengaruhi orang lain.
Pengalaman hermeneutik mensyaratkan hubungan dua momen, yaitu intersubjektivitas komunikasi sehari-hari yang bersifat tak terbatas sekaligus terbatas. Tak terbatas karena komunikasi selalu dapat diperluas, terbatas karena makna tak diterima sepenuhnya. Karena hal itulah, sifat tersebut membuat kesamaan bahasa komunitas dan juga perbedaan kelas, peradaban dan zaman. Kedua, pengalaman hermeneutik membawa pada kesadaran akan posisi subjek pembicara berhadapan dengan bahasanya. Bagi Habermas, sistem “natural language” itu tidak tertutup, seperti yang dipahami oleh kaum strukturalis, tapi bersifat terbuka. Konsekuensinya, setiap aturan bahasa memungkinkan untuk dikomentari dan dirubah, serta metakomunikasi membuat bahasa dapat dijadikan sebagai sebuah objek. Oleh karena itu, setiap natural language memiliki metalanguage. Dengan demikian, Metalanguage menjadi basis bagi momen refleksi. Sebagaimana penggunaan metapor dalam bahasa. Inilah yang membuat hermeneutik kritik lebih bersifat fungsional daripada hermeneutik fenomenologis dan hermeneutik dialetikal.
...................................................................
ket:
Istilah erklaren ini mula-mula juga diajukan oleh Wilhelm Dilthey sebagai metode yang digunakan untuk mendekati objek ilmu-ilmu alam, yakni menjelaskan suatu kejadian menurut penyebabnya.
Istilah verstehen diajukan oleh Wilhelm Dilthey sebagai metode yang digunakan untuk mendekati produk-produk budaya, yakni menemukan dan memahami makna di dalamnya yang dapat dilakukan dengan menempatkannya dalam konteks.
http://forginanjar.multiply.com/journal/item/5
http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika
http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.html