PENDAHULUAN
Imam Al-Ghazali adalah tokoh Islam yang sangat terkenal, disamping sebagai ahli tasawuf beliau juga terkenal sebagai seorang filsuf Islam meskipun ia lebih tersohor sebagai ahli tasawuf. Tidak banyak orang khususnya umat Islam mengetahui bahwa beliau (Al-Ghazali) selain sebagai ahli dalam bidang ruhani (ilmu kebatinan) beliau juga ahli dalam bidang filsafat. Seperti yang dituliskan oleh Za’szuk (pengamat dan peniliti Al-Ghazali dari sudut filsafat) mengatakan bahwa teori skeptis Descrat itu mencontoh dari teori-teori Al-Ghazali (sayangnya penulis lupa judul buku yang ditulis oleh Za’zuk)
Melihat nama besar beliau terutama pada kitab terkenalnya yaitu IHYA’ UMULLUDDIN yang tak terlepas dari kritikkan terutama dari kalangan salafi, Al-Ghazali mampu mengkaver ikhawal yang berkenaan dengan kehidupan manusia dengan Tuhannya hingga sampai hal yang terkecil pun, yaitu fakir dan zuhud. Maka dalam makalah ini penulis akan mencoba mereviuw kebali mengenai hakekat fakir, menjelaskan tentang keutamaan fakir secara mutlak, haramnya meminta tanpa dharutat
Lalu makalah ini juga akan membahas (mereviuw) kembali mengenai hal – hal yang berhubungan dengan penjelasan hakekat zuhud, penjelasan keutamaan zuhud, penjelasan derajat zuhud dalam makanan, pakaian, tempat tinggal, perabot – perabot dan berbagai macam penghidupan dan penjelasan tanda – tanda zuhud.
BAGIAN PERTAMA
TENTANG FAKIR
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa fakir itu adalah orang yang tidak memiliki harta sama sekali. Kemudian Imam Al-Ghazali mengkasifikasikan hakikat fakir itu dan memberinya masing-masing nama ;
Hal yang pertama, adalah jika orang itu diberi harta, orang itu tidak menyukainya dan orang itu merasa tersiksa dengan harta tersebut. Maka orang itu disebut zuhud
Hal yang kedua, ialah orang tersebut tidak menyukai harta walaupun orang itu berhasil memperoleh harta tersebut dengan penuh kesenangan. Tapi orang tersebut tidak membenci dengan harta yang diperolhnya itu, maka ia disebut rela
Hal yang ketiga, yaitu orang tersebut diberi harta namun tidak sampai harta tersebut menggerakkan orang itu untuk mencarinya, tapi orang itu tetap mau mengambilnya.maka sifat itu disebut qona’ah.
Hal yang keempat, orang tersebut lemah dalam mencari harta namun ia tetap mau mencarinya walupun dengan bersusah payah, hanya karena kerakusannya. Orang ini disebut rakus harta.
Hal yang kelima, orang tersebut tidak memiliki harta sama sekali kalaupun ada orang tersebut masih saja dibilang telanjang kalaupun memakai pakaian. Maka orang itu disebut ‘terpaksa’ ( Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl, TAFL, Ihya’ Ulumuddin Jilid VIII (Imam Al-Ghazali), Semarang : CV. ASY-SYIFA’, 2003 )hal 127-128.
Al-Ghazali dalam kitabnya banyak menyetir hadits-hadits yang bagi penulis tidak jelas perowinya, menunjukkan keutamaan-keutamaan orang fakir. Seperti dalam hadits yang ada dalam buku berjudul ‘RINGKASAN IHYA’ UMULUDDIN AL-ghazali’ tertulis bahwa ada sebuah hadis dari
Haids dari Imran bin Husain diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘ Sesungguhnya Allah menyintai orang fakir yang menjaga kehormatan diri, yang menjadi bapak keluarga.’
Dalam hadis lain Rasulullah saw juga bersabda,’ orang-orang fakir dari umatku masuk surga sebelum orang-orang kaya dari mereka dengan selisih waktu lima ratus tahun.’
Diriwayatkan oleh At-Turmidzi dari Abu Umamah bahwa Rasulullah menceritakan pengalamannya bertemu dengan malaikat Jibril. Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah saw,’ wahai Muhammad, sesungguhnya Allah swt menyampaikan salam kepadamu. Dia berfirman : apakah engkau menginginkan jika Aku menjadikan gunung sebagai emas dan selalu bersamamu ?’ Rasulullah menjawab,’ sesunggunya dunia hanyalah kampung bagi orang yang tidak memiliki harta dan harta hanya dikumpulkan bagi orang-orang yang tidak mempunyai akal,’ Jibril a.s berkata, ‘wahai Muhammad, semoga Allah meneguhkan engkau dengan kalimat yang teguh ( hikmah ).’
Dalam hadis lain disebutkan,’ para nabi yang paling akhir masuk surga adalah Sulaiman putra Dawud as karena kedudukan kerajaannya. Dan sahabatku yang paling akhir masuk surga adalah Abdurrrahman bin Auf karena harta kekayaannya.’
Orang-orang fakir yang ikhlas dan tak berkeluh kesah menghadapi keadaannya adalah manusia yang paling utama. Ia tenang dan qanaah dari apa yang diterimanya atas karunia Allah. Karena itu Rasulullah saw bersabda,’berbahagialah orang yang mendapatkan petunjuk kepada Islam dan kehidupannya merasa cukup (tidak menjadi beban orang lain) dan puas apa yang ada.
Rasulullah saw bersabda,’wahai golongan orang-orang yang fakir, berikanlah keridhaan dari hati kamu kepada Allah pasti kamu akan mendapatkan kebahagiaan dengan pahala kefakiran. Apabila tidak kamu tidak memperolehnya.’
Orang fakir yang qanaah dan ikhlas akan mendapatkan pahala. Sedangkan fakir yang rakus sama sekali tidak mendapatkan pahala dari kemiskinannya itu. Diterangkan bahwa orang-orang fakir yang sabar akan duduk berkumpul dan dekat dengan Allah di hari kiamat. Rasulullah saw bersabda,’ sesungguhnya setiap sesuatu itu mempunyai kunci. Adapun kunci surga adalah menyintai orang-orang miskin dan orang-orang fakir, karena kesabaran mereka. Mereka adalah orang-orang yang duduk berkumpul dekat Allah pada hari kiamat.’
- Keutamaan fakir atas kaya
Bahwasanya manusia itu bertentangan pendapat tentang ini. Abu Qasim al-Junaidi, Ibrahim bin Ahmad al-Khawwash dan kebanyakan ulama berpendapat pada keutamaan fakir melebihi kaya. Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Atha’ berkata : «’orang kaya yang bersyukur yang terdiri dengan kebenaran itu lebih utama daripada orang fakir yang bersabar’.
BAGIAN KEDUA TENTANG ZUHUD
Zuhud membebaskan dirinya secara penuh dari segala hal yang menghalangi kebebasannya.
Hasan Al-Baghry : dunia merupakan tempat kerja bagi orang yang diseratai perasaan tidak senang dan tidak butuh kepadanya, dan dunia merasa bahagia bersamanya/ dalam menyertainya. Barang siapa menyertainya dengan perasaan ingin memilikinya, dan mencintainya, dia akan dibuat menderita oleh dunia serta diantarakan pada hal-hal yang tidaj tertanggungkan oleh kesabarannya. ( ‘abd al-wahhab al- Sya’ranni. H : 72).
Sesungguhnya zuhud terhadap dunia adalah suatu maqam ( kedudukan) yang mulia diantara kedudukan orang – orang yang menempuh jalan akherat. Orang disebut zuhud karena hatinya tidak tertarik dengan harta kekayaan duniawa. Orang itu lebih tertarik dengan kepentingan akheratnya.
Tanda-tanda zuhud, kadang-kadang ada yang berpendapat bahwa mwninggalkan harta itu zuhud. Sebenarnya tidaklah seperti itu. Karena meninggalkan harta dan menimbulkan keburukan itu sangat mudah dilakukan oleh orang-orang yang ingin dianggap zuhud. Banyak orang-orang yang makan sedikit, dan hidup sangat sederhana-bahkan-miskin lalu tekun beribadah dan ia mendapat pujian dan predikat sebagai zuhud. Kemudian ia merasa sangat senang dipuji demikian. Hal yang demikian bukanlah yang dimaksudkan zuhud. Secara lahiriah mereka zuhud, namun secara batiniah bahwa jiwanya dipenuhi oleh sifat riya’ dan ujub. Mereka mengikuti hawa nafsunya.
Oleh karena itu mengetahui zuhud adalah sukar. Bahkan mengetahui apakah seseorang itu benar-benar zuhud pun sangat sulit. Yang penting adalah berpegang pada batin. ( Abu Fajar al-Qalami, Ringkasan IHYA’ ULUMUDDIN (imam al-Ghazali) Surabaya : Gitamedia Press, 2003) hal 343.
Ada tiga tanda Zuhud yang dirasakan dalam batin seseorang :
- seseorang tidak merasa gembira terhadap sesuatu yang ada di depannya ( harta dan sebagainya) dan tidak akan sedih jika sesuatu itu tidak ada di depannya. Sebagaimana firman Allah ,’ Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang terlepas darimu dan agar kamu jangan gembira terhadap sesuatu yang diberikan kepadamu.’ QS al-Hadid 23.
- seseorang tidak risau jika dicela dan tidak berbangga hati jika dipuji. Mendapat pujian atau hinaan sama saja dalam bersikap.
- merasa sangat cinta kepada Allah dan perasaan itu membuat ketaatannya menjadi sangat kuat.
Imam al-Ghazali mengatakan ,’zuhud berarti membenci dunia demi mencintai akherat. Zuhud bisa juga berarti membenci selain Allah demi mencintai Allah.’
Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan”. “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”. Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”
Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.
PENUTUP/KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat kita petik dan ambil kesimpulan-kesimpulan. Kesimpulan mengenai fakir oleh imam al-Gazali dalam kitabnya yang terkenal yaitu Ihya’Ulumuddin memberikan kontribusi bagi kita bahwa fakir dalam pandangan sufi itu memiliki derajat yang sangat tinggi sekali dibandingkan dengan orang yang kaya.
Orang yang miskin atau fakir dalam pandangan sufi nantinya akan mendapatkan derajat yang tinggi apabila si fakir tadi rela dan ridha dengan keadaan yang menimpanya. Bahkan nantinya orang fakir itu akan lebih dahulu masuk surga ketimbang orang yang kaya.
Adapun mengenai zuhud, diatas dapat disimpulkan bahwa zuhud itu adalah orang yang mau meninggalkan segala kemewahan dan kesenangan serta mau meninggalkan segala limpahan hartanya karena di khawatirkan bila tidak segera mengucilkan diri menjadikan orang itu lupa dan lalai terhadap kewajiban-kewajibannya dalam menjalankan perintahNya.
Dan juga dikhawatirkan akan bertambah jauh sekali terhadap keyakinannya. Selalu senang dengan hartanya menjadikan orang tersebut lupa segala-galanya.
Oleh karena itu zuhud adalah upaya untuk mencapai derajat yang tinggi dalam menjalani hidup di dunia yang fana’ ini. Hanya dengan zuhud kita akan semakin dekat kepada Allah dan takut akan azab Allah yang sangat pedih.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Qalami, Abu Fajar, Ringkasan IHYA’ ULUMUDDIN (Imam al-Ghazali) Surabaya : Gitamedia Press, 2003
- Al-Taftazani Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, (
- Sayyid, Dr.Abdul Fattah, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta : Khalifa, 2005
- Syukur , Prof. Dr. Amin MA, Zuhud di Abad Modern, (
- Zuhri, Drs. H. Moh., Dipl, TAFL, Ihya’ Ulumuddin Jilid VIII (Imam Al-Ghazali), Semarang : CV. ASY-SYIFA’, 2003
-