Sebelum berbicara lebih jauh berkaitan dengan konsep Metafisika Fazlur Rahman, khususnya berkaitan pada tiga persoalan: Tuhan, manusia, dan alam, penulis ingin menggaris bawahi bahwa elaborasi Rahman dalam hal tiga persolan di atas bertitik tolak dari al-Qur`an. Konsep Tuhan seperti dinyatakan di dalam al-Qur`an bagi Rahman pada dasarnya semata-mata adalah fungsional.[1] Yakni Tuhan dibutuhkan bukan karena siapa Dia atau bagaimana Dia, tetapi karena apa yang Dia lakukan.[2]
Berangkat dari landasan di atas, hemat penulis, kita dapat mengambil gagasan Rahman tentang Tuhan yang kemudian mewarnai berbagai pandangannya yang lain. Dengan kata lain, pandangan Rahman tentang Tuhan selanjutnya dapat berimplikasi pada bagaimana Rahman melihat segala fenomena di alam ini. Dalam pandangannya, Tuhanlah yang telah menciptakan manusia dan alam raya ini. Tuhan telah menjadikan alam dengan seperangkat aturannya yang dia sebut dengan istilah qadar. Qadar baginya bukanlah seperti apa yang dipahami oleh mayoritas para teolog (mutakallimum) sebagai ketentuan yang deterministik, mengikat serta membatasi kebebasan manusia,[3] melainkan segala ketentuan yang ada pada alam ini, terutama benda-benda fisik. Qadar itulah yang memberikan karakteristik dan sifat khusus padanya. Karakteristik dan sifat itulah yang merupakan amar Tuhan terhadap alam. Karenanya segala yang ada di alam adalah Islam, karena ia tunduk dan patuh terhadap amar Tuhan. Amar Tuhan itulah yang kemudian menjadi amanah bagi alam ini. Karenanya, pula, al-Qur`an mengatakan bahwa alam bertasbih kepada Tuhan.[4]
Tuhan menciptakan alam semesta ini bukanlah tanpa tujuan. Ia hendak merealisasikan tujuanNya itu lewat ciptaanNya dan misiNya. Tujaunnya adalah kebaikan. Pada titik ini, hemat penulis, Rahman percaya setidaknya menerima yang disebut dalam terminologi filsafat agama sebagai argumen teologis. Argumen ini menyatakan bahwa alam memiliki tujuan. Alam mengarah kepada suatu tujuan yang lebih tinggi yakni kebaikan.[5] Argumen ini sejalan dengan argumen lain yakni argumen moral. Argumen ini diajukan Immanuel Kant, seorang ilmuan juga filosof kenamaan asal Jerman.
Tuhan berfungsi sebagai makrokosmos (alam besar), sedangkan manusia berfungsi sebagai mikrokosmos (alam kecil). Di sini Tuhan yang makrokosmos meliputi manusia yang mikrokosmos. Dialah Tuhan yang meliputi segala realitas yang ada di alam ini. Di dalam al-Qur`an disebutkan, salah satunya, bahwaTuhan memiliki sifat meliputi (al-Muhith). Dia memiliki segala sifat kebaikan, penolong, bagi kaum muslim yang tertindas dan mengalami kesusahan. Penyayang, bagi kaum muslimin yang taat terhadap perintahNya. Pengasih, pemberi perlindungan, pendidik, dan lain-lain. Semuanya mencerminkan Tuhan yang berfungsi sebagai tertentu seperti disebut di atas. Term al-Muhith seringkali ditafsirkan sebagai yang panteistik. Misalnya Ibn al-Arabi mengumpamakan Tuhan dengan cahaya matahari dalam menjelaskan hubungan keterkaitan antara Tuhan dan Alam.
Sudah merupakan anggapan umum bahwa Tuhan dalam Islam adalah transenden secara mutlak, hal ini terbukti dengan adanya penekanan tegas yang diberikan Islam terhadap pengesaan Tuhan, keagunganNya, kemuliaanNya, dan lain-lain.[6] Akan tetapi, lanjut Rahman, gambaran semacam ini tidak muncul dari al-Qur`an, melainkan dari perkembangan teologi Islam belakangan.[7] Tentu saja imanensi Tuhan ini sedikit pun tidak berarti perbuatan-perbuatn yang dilakukan oleh alam atau manusia secara nyata dilakukan oleh Tuhan: Tuhan bukanlah saingan atau pengganti bagi manusia atau agen-agen alam dalam menghasilkan efek-efek, dan Dia tidak pula campur tangan dalam proses kerja mereka.[8] Hukum alam adalah bagian dari perilakuNya (sunnah).[9]
Dari beberapa pernyataan dan logika berpikirnya, Rahman dapat digolongkan kepada orang yang percaya kepada hukum alam, hukum sebab-akibat. Bahwa alam memiliki hukumnya sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan secara langsung. Tuhan hanya berhubungan dengan alam dalam arti hanya sebatas hukum-hukumnya. Senada dengan ini, Ibnu Sina, misalnya, berpendapat bahwa Tuhan hanya berhubungan dengan akal pertama dan Tuhan tidak berhubungan dengan alam materi yang dihasilkan akal ke sepuluh.[10]
Sedangkan manusia diciptakan Tuhan degan maksud turut merealisir tujuanNya yang mulia tadi, tujuan kebaikan. Manusia sebagaimana disinyalir al-Qur`an memiliki dua kutub ekstrim yang saling berlawanan. Kutub pertama adalah kesombongan. Karena manusia memiliki kemampuan dibandingkan makhluk lain. Kutub kedua adalah keputusasaan. Pada kutub pertama manusia bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya lewat potensi yang diberikan Tuhan. Manusi berhak dan bebas menentukan pilihannya. Dari sini manusia sering berlaku sombong dan angkuh. Akibat keangkuhan dan kesombongannya, akhirnya manusia jatuh pada kutub kedua yakni keputusasaan dan akhirnya ia tidak merasa berharga sama sekali. Kutub pertma akan menghasilkan optimisme yang boleh jadi berlebihan, sedangkan kutub kedua menghasilkan sikap pesimis yang juga berlebihan. Sikap optimisme yang berlebihan pada akhirnya melahirkan sikap sombong dan angkuh, sedangkan sikap merusak diri, putus asa, keluh kesah, adalah titik balik dari sikap optimisme berlebihan. Kedua kutub saling berlawanan ini digambarkan oleh al-Qur`an dengan “setan”. kedua kutub ini merupakan titik kufr, hidup tanpa harapan dan hidup yang tanpa kerendahan hati.[11]
Di sinilah al-Qur`an berperan. Al-Qur`an diturunkan dengan tujuannya yang utama adalah menciptakan dan mempertahankan sikap tengah di antara dua ekstrim ini dalam diri manusia.
Di samping manusia diberi tugas dalam rangka keseluruhan dari penciptaanNya, ia juga dituntut agar selalu patuh kepada Tuhan. Di sini Tuhan memberikan daya intelegensi yang tinggi kepada manusia. Dengan akal manusia membedakan yang baik dan yang buruk. Karena itu Tuhan memberikan derajat yang paling tinggi kepada manusia dibandingkan dengan makhluk lain. Di antara makhluk, manusialah yang dilengkapi dengan moral. Karena itu manusia, dalam hidupnya, penuh dengan perjuangan, baik perjuangan untuk merealisasikan tujuan penciptaan Tuhan-- hubungannya dengan alam, maupun pada level pribadi. Yaitu bagaimana manusia dituntut untuk berjuang, secara psikologis mempertahankan dirinya agar tidak terjerumus kepada kedua kutub ekstrim di atas. Maka Tuhan, dalam arti fungsional, sangat dibutuhkan. Dalam rangka pemenuhan hasrat psikologis, hemat penulis, al-Qur`an seringkali menegaskan, misalnya, “jika kalian menolong Tuhan, maka niscaya Tuhan akan menjadi penolongmu”,[12] “Tuhan beserta orang-orang yang sabar”,[13] berdoalah kepadaKu, niscaya aku jawab (kabulkan) doamu”[14] dan lain-lain.
Jadi hubungan Tuhan, manusia, dan alam pada metafisika Rahman tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hubungan yang jelas adalah bahwa manusia diberi tugas oleh Tuhan untuk mengelola alam semesta ini dengan tujuan kebaikan dan kesempurnaan dari seluruh rencana Tuhan dan keseluruhan penciptaannya. Hubungan dengan Tuhan bahwa manusia merupakan sebagian dariNya, dalam arti bahwa Tuhan telah meniupkan ruhNya kedalam diri manusia.[15] Namun, Tuhan tetap menjadi makrokosmos (alam besar) dan manusia adalah mikrokosmos (alam kecil). Alam kecil ini senantiasa berhubungan secara spiritual dengan alam besar, setidaknya pada level filosofis. Karena itu, manusia harus meniru Tuhan di dalam segala sikapnya, mewujudkan kebaikan-kebaikan. Tugas ini, suka atau pun tidak suka, harus dipikulnyaa. Manusia mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi ini (khafilah fi al-ard). Hubungan manusia dengan alam adalah bahwa manusia memanfaatkan alam demi terciptanya kebaikan-kebaikan itu dan dalam rangka beribadah kepadaNya. Rahman menyebut hal demikian sebagai ‘amr’ atau perintah Tuhan yang harus dilaksanakan oleh manusia. Jadi alam berfungsi sebagai fasilitas dalam rangka tujuan tadi. Dengan demikian dalam Islam manusia menjadi “pengelola”, bukan “eksploitator” seperti pada weltanchaung barat. Demikian Rahman
C. Imanensi Tauhid
Berangkat dari konsepsi metafisik, pandangannya mengenai tauhid jelas tidak dapat dinafikan begitu saja. Bagi Rahman Tauhid tidak hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, tapi juga berbicara tentang bagaimana manusia berperilaku dan bertindak. Manusia merupakan cermin dari Tuhan atau khalifah Tuhan di bumi, karena itu ia harus mewujudkan misiNya di bumi. Ketika ia melakukan interaksi dengan orang lain, maka unsur Tuhan serta nilai-nilai teologis harus dijabarkan. Pandangan ini amat berpengaruh pada pemahamannya tentang etika sosial. Sebagai konsekuensinya, maka jika seseorang merasa lebih tinggi atau lebih hebat, lalu ia dapat melakukan tindakan apa saja terhadap orang lain, adalah pandangan keliru. Sebab di sisi Tuhanlah manusia boleh dan bahkan harus patuh dan tunduk. Makna dari ketundukan dan kepasrahan inilah yang disebut al-Islam. Hal ini menjadi inti ajaran Agama Islam. Selain itu, sikap tunduk kepada Tuhan dalam wujudnya yang lebih nyata adalah memahami, meneliti, dan kemudian melestarikan alam yang dilengkapi dengan hukumnya.
Di sini Rahman mengidealkan sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat keadilan, kesejahteraan, kedamaian, serta perilaku masyarakat yang dilandasi nilai-nilai moral yang tinggi-- dalam hal ini nilai-nilai tauhid sebagaimana ditunjukkan al-Qur`an.[16] Baginya, nilai-nilai universal yang menjadi pesan al-Qur`an itu hendaknya menjadi acuan dan basis etis sebuah masyarakat. Karena itu, seluruh manusia tanpa dibatasi oleh atribut tertentu: golongan, suku bangsa, ras, bahasa dan lain-lain, harus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan universal itu: “keadilan”, “kebaikan”, “persamaan”, (merasa sama satu sama lain, tidak merasa lebih tinggi, lebih super dan lain sebagainya), kejujuran dan lain-lain.
Makna universalitas yang ditafsirkan Rahman, nampak berbeda dengan golonan muslim tradisionalis ketika memandang Islam yang universal itu. Muslim tradisionalis selalu merujuk kepada apa yang telah dilakukan nabi dan para sahabatnya ketika berada di Madinah, yakni dalam bentuk seperangkat aturan formalistik. Artinya apa yang telah dipraktikkan nabi dan para sahabat pada zamannya dicoba diterapkan pada masa kini dengan, seringkali, tanpa kompromi. Makna universal di sini bagi Rahman tidaklah demikian adanya. Baginya, makna universal dalam Islam harus disesuaikan dengan kondisi di mana konsep dan gagasan itu hendak diterapkan. Dalam hal ini tidaklah lalu berarti pengikisan nilai-nilai transenden yang terdapat di dalam sebuah kitab suci. Rahman tampak yakin betul bahwa makna al-Qur`an tidaklah dapat diambil atau diwujudkan dengan cara yang pertama tadi. Jadi bagi Rahman—lagi-lagi karena pengaruh dari metodologi historisnya—semangat al-Qu`an itulah yang terpenting. Karena al-Qur`an, atau sebut saja Tuhan, tidak mungkin menurunkan suatu aturan untuk manusia tanpa tujuan tertentu. Karena tentu jika al-Quran turun dengan tidak membawa pesan dan maksud tertentu, perbuatan Tuhan menjadi sia-sia (‘abatsan), sedangkan jelas Tuhan sendiri menyatakan dalam firmannya, bahwa Tuhan menjadikan langit dan bumi dan juga segala ciptaannya yang lain dengan sungguh-sunggh dan tidak main-main. Diciptakan seekor nyamuk yang kecil dan rendah sekalipun.
Dengan sikap tauhid yang dinamis ini, maka jelas manusia akan hidup optimis, tanpa berlebihan. Sikap optimis demikian dapat melahirkan sikap rendah hati dan tidak mudah berputus asa. Karena itu, seseorang akan berada pada jalan tengah dan terhindar dari dua kutub ekstrim seperti pada konsep metafisiknya pada awal tulisan ini. Karena dua kutub ekstrim itulah yang menyebabkan manusia jatuh pada “kekufuran”.
Di dalam konsep tauhid ini, Rahman mengidealkan terciptanya hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia yang lain, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis demi mewujudkan dan merealisasikan tujuan dari penciptaan ini (alhikmah). Landasan tauhid ini menjadi dasar dan prinsip universalitas Islam yang kemudian sangat berpengruh pada prinsip ijtihad Rahman.
Selain itu, banyak ayat al-Qur`an yang senada dengan semangat persatuan, egalitarianisme, dan keadilan sosial. Hal ini mengandaikan Islam menerima-- sekalipun secara rinci tidak dijelasksn—gagasan dan ide demokrasi. Ide demokrasi ini pun telah diisyaratkan (implied) al-Qur`an. Sebagai indikator misalnya, beberapa ayat menyebut tentang musyawarah (syura`), perintah berlaku adil terhadap siapa saja, bahkan terhadap musuh atau orang yang sangat kita benci sekalipun. Nah, jelaslah kesatuan (tawhid) bagi Rahman bukanlah semata-mata bagaimana manusia memahami Tuhan itu Esa, melainkan lebih jauh dari itu juga harus berimplikasi positif dan responsif pada persoalan sosial dan politik serta dapat menjawab berbagai problem kemanusiaan lainnya. Karena itu ‘kedilan’, demokrasi, egalitarianisme, keterbukaan dan sebagainya, harus menjadi bagian dari, dan berada di bawah pancaran Tauhid. Dengan demikian maka segala tindakan manusia selalu berada pada koridor dan rel tauhid sehingga, nilai-nilai ilahi dapat dimanifestasikan dalam kehidupan seorang muslim. Inilah yang menjadi salah satu misi musia sebagai khalifah Tuhan di bumi.
Amal, Taufik Adnan, (penyunting), Metode dan Alternatif neo-modernisme Islam Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1991), Cet.iv.
Islamika, (Jurnal Dialog Pemikiran Islam), Bandung, Vol 111, No.2, 1992.
Maarif, syafi’i, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), Cet.2
Nasution, Harun, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), Cet.7.
----------, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), Cet., ke-5.
----------, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI-Press, 1987), Cet. ke-1.
----------,dan Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989),
----------, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan bintang, 1990),
Rahman, Tema Pokok Al-qur’an, (Bandung: Pustaka, 1983).
[1] Taufik Adnan Amal (peny.) Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VI., h. 69.
[2] Ibid., h. 91.
[3] Dalam wacana teologi Islam, polemik masalah takdir manusia tidak pernah mendapat solusi yang memadai. Faham Jabariyyah yang memandang manusia serba deterministik di satu sisi berhadapan dengan faham Qadariyah yang memandang manusia memilki kebebasan sekaligus bertanggung jawab atas perbuatannya melatar belakangi lahirnya teori kasab Asy’ari sebagai jalan tengah. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), Cet., ke-5, h. 103-122. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, pada penerbit yang sama, Cet., ke-1.,h.75-79.
[4] Lihat, QS, 57:1; 59:1; 61:1; 13:14; 62:1; 64:1 dan 17:44.
[5] Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), Cet., ke-7, h. 56-60.
[6] Taufik Adnan Amal, op. cit., h. 70
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid. , h. 71. Dalam hal ini Rahman mengutip beberapa ayat al-Qur’an: QS: 18-17; 30:30; 33-62; 35:43-44; 48:23
[10] Lihat, Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan bintang, 1990, Cet., ke-10, h.34-40.
[11] Taufik Adnan Amal, op. cit, h. 84.
[12] Lihat QS. 47:7.
[13] QS. 2:153, 8:47.
[14] QS.40:60
[15] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur`an, Anas Mahyuddin (Terj.), (Bandung: Pustaka, 1993), Cet. Ke-1, h. 26.
[16] A. Syafi’i Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1984), Cet., ke-2, h. 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar