NURCHOLIS MADJID
A.Sekularisasi
Tokoh Islam liberal atau liberalisme Islam terkemuka di
Nurcholis madjid berpendapat sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecendrungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaraan suatu nilai dihadapkan kenyataan material, moral atapun hitoris, menjadi sifat kaum muslimin.
Sekularisme dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifa Allah di dunia. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu dihadapan Tuhan.
Sekularisasi ialah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapanya dalam membina kehidupan duniawi. Dan terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya. Paham ini adalah paham keduniawian, paham ini mengatakan bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan terakhir. Tiada lagi kehidupan sesudahnya kita semua, yang hidup ini adalah makhluk sekuler, artinya kita sekarang masih berada di dalam alam sekuler duniawi karena belum pindah ke alam akhirat.
Perbedaan sekularisme dan sekularisasi sebagai paham dan proses. Sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin bahwa telah terjadi dan akan terus terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya hari kemudian dan prinsip ketuhanaan.
Namun karena gempuran kritik yang begitu gencar terhadap istilah sekularisasi itupun ditinjau kembali oleh Nurcholis madjid. Dalam tulisannya, “sekularisasi ditinjau kembali” Nurcholis mengatakan terhadap perbedaan istilah “sekular” sekularisasi dan sekularisme itu, maka adalah bijaksana untuk tidak mengunakan istilah-istilah tersebut dan mengantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.
Sebenarnya, subtansi pemikiran Nurcholis Madjid adalah ia ingin menempatkan hal-hal yang sifatnya dunia yang profan pada tempatnya dan yang sifatnya keakhiratan atau kaitannya dengan masalah teologis juga pada tempatnya. Namun tampaknya ia kesulitan dalam menemukan istilah yang tepat sehingga menimbulkan reaksi yang bertubi-tubi.
B.Modernisasi
Modernisasi identik dengan rasionalisasi atau hampir identik dengan rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak akhliah, dan menggantikannya dengan pola berfikir dan tata kerja yang akliah. Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitroh atau sunnahtullah. Sunnatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk dapat menjadi modern manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu. Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam, melahirkan ilmu pengetahuan alam sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akalnya sehingga modern berarti juga rasional.
Nurcholis mengatakan bahwa modernisasi adalah sebuah keharusan, malahan kewajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Modern juga berarti progresif dan dinamis. Maka sekalipun bersifat modern itu merupakan suatu keharusan yang mutlak, namun kemoderenan itu sendiri relatif sifatnya, sebab terikat ruang dan waktu. Sesuatu yang sekarang ini dikatakan modern, dapat dipastikan menjadi kolot (tidak modern lagi) di masa yang akan datang. Sedangkan yang modern secara mutlak ialah Allah, pencipta seluruh alam. Jadi modernitas berada dalam suatu proses, yaitu penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif, menuju kepeneman ang mutlak, yaitu Allah.
Hal itu berarti tidak seorang pun manusia berhak mengklaim suatu kebenaran insan sebagai suatu kebenaran yang mutlak. Dengan kata lain seorang muslim semestinya menjadi seorang yang sela bersedia menerima kebenaran-kebenranan baru dari orang lain, dengan penuh rasa tawadhu’ kepada Tuhan.
C.Islam dan konsep negara Islam
Menurut Nurcholis, Islam tidak identik dengan ideologi, ideologisasi Islam yang berlangsung selama ini di dalam masyarakatnya telah merelatifikasikan Islam sebagai ajaran yang universal. Ideologi sendiri sangat terikat oleh ruang dan waktu. Ia mengungkapkan bahw aideologi sosial politik Islam di masa lalu terlalu tegar dan mengabaikan ideologi dengan kondisi-kondisi setempat. Itulah sebabnya ketika ia mulai membicarakan hubungan orde baru dengan Islam. Ia menegaskan bahwa penelitian terhadap perkembangan sosial. Poloitk tidak bisa dilakukan dalam ukuran kemutlakan, tetapi harus dilihat dari kaitan nisbinya dengan hal-hal lain. Islam adalah agama kemanusiaan yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal.
Nurcholish menekankan pemisahan antara Islam dan ideologi, menurut pandangan langsung kepada Islamsebagai ideologi bisa berakibat merandahkan agama itu menjadi setaraf dengan berbagai ideologi yang ada. Dari pemikiran itu terlontarlah suatu ungkapan yang amat terkenal yaitu Islam yes! Partai Islam no! Dari ungkapan itu tampaknya ia berpesan bahwa tidak perlu bahkan tidak wajib seseorang masuk partai Islam, yang paling penting adalah menjalankan ajaran Islam itu sendiri.
Kondisi Islam di Indonesia menurut pandangan Nurcholish mengalami suatu perembesan kultural yang sedikit agak mapan. Nilai-nilai Islam lebih bercorak budaya dalam penampilannya, ketimbang warna asli dari Islam itu sendiri.
Dalam hal kenegaraan, Nurcholish tidak sependapat dengan gagasan negara Islam bahkan ia menilai timbulnya gagasan negara islam, adalah suatu bentuk kecendrungan apologetik. Setiap apologetik itu tumbuh dari dua perkara Yaitu:
•Yang pertama apologi terhadap idiologi-idiologi barat (demokrasi, sosialisme, komunisme). Idiologi-idiologi itu sering bersifat kataliter, artinya menyeluruh dan secara mendetail meliputi setiap bidang kehidupan khsusnya politik, budaya, ekonomi, sosial dan lain-lain.
• kedua ialah legalisme yang membawa sebagian kaum muslim kepikiran apologitis “negara Islam” itu. Legalisme ini menumbuhkan apresiasi serba legalistis kepada Islam, yang berupa pneghayatan keislaman yang menggambarkan bahwa Islam itu adalah struktur dan kumpulan hukum. Legalisme ini merupakan kelanjutan fiqihisme.
Cak Nur walaupun tidak menolak tentang Islam juga menyangkut persoalan pengurusan atas sosial, ekonomi bernegara. Namun ia memerikan tekanan lebih dalam, bahwa Islam merupakan muatan khas sebagai Al-Dien yang menitik beratkan aspek spiritual, sedangkan negara ersifat duniawi masal dengan muatan dimensi dan kolektif.
HARUN NASUTION
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tahun 1919. ia bersekolah di HIS (
A. Persamaan Agama
Harun nastion bisa dikatakan ”pioner” dalam mengembankan Islam liberal di Indonesia, sama halnya dengan Nurcholis madjid. Harun berhasil mengembangkan sayap geraknya ke IAIN seluruh
Dalam bukunya Tersebut harun sudah Mulai menyerempet tentang persamaan agama. Setelah mengutip sebagian ayat al Qur’an, jelaslah bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah satu asal. Tetapi perkembangan masing-masing dalam sejarah mengambil jurusan yang berlainan sehingga timbul perbedaan di antara ketiga agama tersebut.
Harun di dalam bukunya hanya menjelaskan secara datar tentang pengertian agama Yahudi dan Nasrani, sehingga pembaca menjadi kurang yakin akan keunggulan agama Islam. Dia tidak mengungkapkan penelewengan-penyelewengan agama Yahudi dan Nasrani. Menurut Harun kemurnian tauhid di pelihara oleh Islam dan Yahudi, sedangkan Naasrani sudah tidak murni lagi dengan adanya konsep trinitas. Namun Yahudi sema atau syahadatnya yakni dengarlah
Padahal Dalam berbagai ayat al Qur’an sudah dipaparkan secara jelas bahwa hanya Islam yang benar-benar murni ketahuhidannya. Dalam
“ Orang-orang Yahudi berkata bahwa Uzair itu putra Allah dan orang Nasrani berkata bahwa Almasih itu putra Allah. Demikian itulah ucapan mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati Allahlah mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling?”
B. Sekularisme
Bukan itu saja, Kengawuran Harun juga terlihat ketika ia memaparakan tentang tema aspek pemgaharuan dalam Islam. Paham pembaharuan atau modernisasi menurutnya mempunyai pengaruh yang besar di barat dan segera memasuki lapangan agama yang di barat dipandang sebagai penghalang bagi kemajuan.
Modernisasi dalam hidup keagamaan di barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Khatolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan dan falsafat modern. Pembaharuan dalam Islam mempunyai tujuan yang sama, namun tidak bagi ajaran-ajaran yang bersifat mutlak. Harun berangapan sekularisme diperlukan meskipun tidak mutlak ajaran-ajaran yang dapat diubah. Karena itu tidak heran bila Harun kemudian memuji-muji tokoh-tokoh yang mengabaikan syariat seperti Rif’at Tahtawi Qasim amin dan lain-lain. Dukungan Harun terhadap sekularisme terlihat ketika ia tidak mengecam sama sekali pendapat Ali abdul Raziq yang berpendapat bahwa sistem khilafah tidak ada dalam Islam.
Harun juga membolak-balikan sejarah Islam dengan ngawur. Sultan Abdul Hamid, khilafah Islam di Turki yang dipuji oleh para ulama Islam karena berpegang teguh pada syariat Islam dan tidak mau menyerahkan Palestina kepada Yahudi dijuluki harun sebagai raja yang absolut, dan mengangap Kemal Attarurk yang menghancurkan kekhalifahan Islam bekerja sama Inggris dan barat lainnya sebagai salah satu tokoh pembaharuan.
C. Modernisme Harun
Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia bukanlah hal baru ketika Harun Nasution mengutarakan berbagai gagasan pemikirannya. Bangsa
Pemikiran Islam di Indonesia berkembang cukup pesat di awal abad ke-20. Hal itu ditandai dengan lahirnya gerakan modernisme. Gerakan modernisme yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat Islam kepada sumber ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman sehingga tidak perlu diperbaharui. Namun, hal ini perlu diangkat lagi ke permukaan masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran pokok tersebut. Pada masa itu, masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi tentu tidak tinggal diam melihat gerakan tersebut.
Reaksi itulah yang juga melahirkan gerakan yang disebut tradisionalisme. Pengusung gerakan modernisme pada saat itu antara lain adalah H.O.S. Tcokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Perubahan dari taqlid kepada ijtihad merupakan akar pemikiran Islam tersebut. Akar pemikiran itu lalu menjalar kepada pemikiran aplikatif dalam kehidupan modern. Beberapa hal yang sering menjadi bahan pembicaraan atau bahkan perdebatan adalah mengenai politik dan negara. Pada tahun 1940-an, terjadi polemik pemikiran politik Islam antara Natsir dan Soekarno.
Pembicaraan mengenai hal ini adalah sebuah respon seorang Mohammad Natsir atas pernyataan pemikiran Soekarno bahwa zaman modern menuntut pemisahan agama dan negara seperti yang dipraktekkan oleh Musthafa Kemal Attaturk Pasha di Mesir. Bahan pembicaraan lainnya adalah mengenai sistem ekonomi yang direlevansikan dengan pembinaan masyarakat menurut Islam. Pemikiran tentang hal tersebut diusung oleh Agus Salim dan Tjokroaminoto ketika mereka (pada masanya masing-masing) berhadapan dengan pihak komunis dan nasionalis. Pada umumnya, sampai pada masa konstituante tahun 1956-1959, pemikiran Islam di Indonesia berkisar pada soal-soal ibadah dan muamalah. Masalah lainnya yang juga diangkat, tidak lebih hanya karena merupakan tantangan pihak lawan yang lebih intens.
Bila kita mengamati perkembangan pemikiran Islam pada awal abad ke-20 dibandingkan pemikiran Harun, maka kita akan melihat warna berbeda dalam pemikiran Harun Nasution. Warna berbeda itu bisa dilihat dari beberapa perspektif yaitu suasana zaman, afiliasi terhadap ormas/parpol, fokus terhadap bidang akademis. Kembali kepada pembahasan paragraf sebelumnya tentang garis besar pemikiran Islam pada awal abad ke-20 sampai masa konstituante, Deliar Noer menarik beberapa kesimpulan tentang corak gerakan masa itu antara lain bahwa pemikiran kalangan Islam masa itu lebih merupakan reaksi atau respon terhadap tantangan yang ada. Ia merupakan reaksi terhadap pemikiran Barat, sekulerisme, komunisme, nasionalisme yang chauvinistis, dan sebagainya.
Selain itu, banyaknya permasalahan yang dihadapi tidak diimbangi dengan tersedianya orang-orang yang ahli dan mempunyai waktu luang sehingga bahasan dan kajian yang dilakukan terhadap salah satu topik kurang mendalam dan mengena. Warna berbeda lainnya yaitu afiliasi terhadap ormas/parpol. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa para tokoh sebelumnya adalah bagian dari ormas atau parpol (entah dia pendiri atau hanya sebatas anggota dan simpatisan). Hal itu secara tidak langsung menjadi salah satu pertimbangan apakah pemikiran yang dikeluarkan tokoh tersebut adalah murni pemikirannya. Perspektif lain yang bisa memperlihatkan warna berbeda pemikiran Harun Nasution adalah fokus yang digelutinya pada bidang akademis. Artinya bahwa pemikirannya adalah sebagai suatu kajian yang bisa disampaikan bahkan dipakai sebagai kurikulum
DAFTAR PUSTAKA
Madjid, Nurcholish. 1989. Islam kemoderenan dan keindonesiaan.
Madjid, Nurchlish.2000. Islam doktrin dan peradaban.
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Soefudin, Didin. 2003. Pemikiran modern dan postmodern dalam Islam.
Sani, Abdul. 1998. Perkembangan modern dalam Islam.
Saridjo, Marwan. 2005. caknur diantara sarung dan dasi.
Husaini, Adian. Hidayat, Nuim. 2002. Islam liberal.
2.18.2008
Pemikiran Tokoh Islam Liberal di Indonesia; Nurcholis Masjid dan Harun Nasution
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
makasih sekali,coz saya bisa numpang belajar hari ini.
BalasHapusmakasih apanya mas anonim????
BalasHapusorang di Al Qur'an aja diperintahkan untuk membawa takwa kita kemanapun kita berada, baik waktu sholat, bekerja ato dimana saja.
na ini malah disuruh misahin!
islam apa kaya gini???
astaghfirulloh..