Agama selalu bisa dimanipulasi SATU kepedihan membuat Mernissi menggugat kedudukan perempuan dalam Islam. Nyeri itu muncul, saat dia remaja, dan mendengar hadits yang dibacakan gurunya: “Anjing, keledai dan perempuan akan membatalkan salat seseorang apabila mereka melintas di depan, menyela antara orang yang salat dan kiblat.”
“Perasaan saya amat terguncang mendengar hadits semacam itu, saya hampir tak pernah mengulanginya dengan harapan, kebisuan akan membuat hadits ini terhapus dari kenangan saya. Saya selalu bertanya, bagaimana mungkin Rasullullah mengatakan hadits semacam ini, yang demikian melukai saya… Bagaimana mungkin Muhammad yang terkasih, bisa begitu melukai perasaan saya, gadis cilik, yang di saat pertumbuhannya, berusaha menjadikan dia sebagai pilar-pilar impian romatisnya,” aku Mernissi dalam Wanita dalam Islam.[1]
Sejak kecil, Mernissi memang telah terlibat dengan pemikiran keislaman, dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang liar. Ia misalnya menggugat batas antara lelaki dan perempuan. Kalau disepakati ada batas, katanya, kenapa hanya pihak perempuan saja yang dibatasi dan ditutupi. Di mana keadilan itu?
Tak heran, akibatnya, hubungan Mernissi dan agama menjadi begitu ambivalen. Di rumah, melalu neneknya, Yasmina, ia diajarkan agama secara indah, puitis dan bersahabat. Di sekolah, ia diajarkan al-Quran dengan cara yang keras. Ia harus menghapal ayat, dan jika salah, bentakan dan pukulan selalu menderanya. Agama baginya jadi sesuatu yang mengerikan. Tak heran, ajaran neneknya tentang perjalanan haji, keindahan Mekkah dan Madinah, nikmatnya bergegas meninggalkan arafah dan Mina untuk menginap di Madinah, amat mengobati luka itu. Obsesinya pun muncul untuk melihat dan menikmati
Dua cara didikan ini membuat Mernissi mengganggap agama Islam sangat tergantung pada bagaimana perspektif dan penerimaan kita terhadapnya. Ayat suci bisa menjadi gerbang melarikan diri atau hambatan yang tak bisa diatasi. Al-Quran bisa menerbangkan ke alam mimpi, atau pelemah semangat belaka.
Dewasa di penjara harem
Fatima Mernissi lahir di
Nenek Mernissi, Yasmina, adalah istri kakeknya, dengan sembilan wanita lain. Tapi, nasib buruk itu tak menimpa pada ibu Mernissi. Ayahnya, seorang nasionalis Maroko, menolak poligami.
Berbeda dari ibunya yang tak bisa membaca, Mernissi yang lahir di saat kaum nasionalis berhasil mengusir Prancis, mendapatkan hak untuk bersekolah. Meskipun tinggal di harem, ia dapat mengenyam pendidikan yang tinggi. Semua kisah Mernissi di harem, bersama keluarga besarnya, hasrat mereka untuk menikmati kebebasan, dan kegembiraan melihat dunia luar meskipun hanya dari lubang kunci, dia gambarkan dengan indah –sekaligus pedih– dalam bukunya, The Harem Within.
“Jangan bayangkan harem hanya berada di dalam istana (imperial), karena harem yang saya tinggali adalah harem kelas biasa (domestik), yang tak bergelimang dengan kemewahan,” tulisnya. Tapi, Mernissi tetap berhasil mendapat gelar di bidang politik dari Mohammed V University di Rabat, Maroko, dan gelar PhD dari Universitas Brandels, Amerika pada tahun 1973. Disertasinya, Beyong the Veil and Male Elite menjadi rujukan kepustakaan Barat untuk melihat posisi perempuan Maroko.[2]
Karya-karya Mernissi memang sarat dengan gugatan yang bersumber dari pengalaman pribadinya. Ia pun dengan rajin meriset apa pun yang mengganggu paham keberagamaannya. Pelacakannya terhadap nash-nash suci Quran dan hadis membuat kritik Mernissi begitu terasa tajam. Ia misalnya, melacak perawi hadits sampai tingkat yang terkecil, dan meneliti riwayat hidup perawi tersebut, dan membongkar kecacatan hadits itu. Baginya, amat mustahil Rasullulah Muhammad sampai memosisikan perempuan dalam kedudukan yang serendah itu.
Tafsir alternatif Mernissi yang amat terkenal tajam dapat terlihat dari dua bukunya, The Forgotten of Queen in Islam dan Islam and Democracy, yang keduanya telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, oleh Mizan, 1994, dan Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan oleh LKIS, 1994. [3]
Mernissi menunjukkan, kekurangan pemerintahan Arab bukanlah karena UUD mereka tak Islami, tapi karena para pemimpinnya menafsirkan agama berdasarkan kepentingan mereka. Mernissi menunjukkan, betapa agama dengan sangat mudah dapat dimanipulasi. Karena itu aia percaya, penindasan terhadap perempuan adalah semacam tradisi yang dibuat-buat, bukan murni ajaran Islam. Makanya, tak ada keraguan bagi feminis ini untuk menggugat hal tersebut dalam bukunya, Rebellion’s Women and Islamic Memory.
Sebagai seorang sosiolog, Mernissi bahkan bergerak dalam wilayah yang amat luas. Ia misalnya, amat konsern pada masalah hijab. Hijab baginya hanya pembatasan ruang publik bagi seorang perempuan. Hijab juga berarti pemisahan antara penguasa dan rakyat, sebagai citra kekuasaan mutlak dunia lelaki atas perempuan. Kenapa hijab menjadi agenda Mernissi? Karena hidup dia dan keluarganya, amat menderita oleh praktik hijabisasi itu.
Mernissi juga menjelaskan secara sosiologis batas-batas seksualitas perempuan Maroko, dan bagaimana hidden transcript masyarakat menunjukkan perlawana hal itu. Bukunya yang berasal dari disertasi, dan beberapa buku penelitian yang lain, adalah representasi –juga perlawanan– yang sangat baik tentang persoalan perempuan di dunia Islam pada umumnya. Dan tampaknya, sampai kini, Mernissi tak berniat akan pernah berhenti.[4]
Fatima Mernissi tidak menafikan pentingnya faktor ekonomi dan politik dalam sebuah negara --untuk menentukan nasib kaum wanita khususnya. Tetapi, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu "discourse tentang wanita" yang telah diciptakan oleh sosio-budaya Arab. Menurut Mernissi, diskursus wanita yang berlaku dalam komunitas Arab telah dibentuk sedemikian rupa oleh budaya dominasi lelaki. Dan dengan dominasi itu, perempuan selalu ditempatkan dan dipandang negatif --dari perspektif apa saja.[5] Mernissi tidak meletakkan seluruh beban pada negara. Ia lebih menyalahkan struktur sosial yang telah menyengsarakan nasib wanita. Yang dimaksud dengan struktur sosial, menurutnya, juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah masyarakat. Mernissi tidak sepenuhnya percaya dengan sekelompok elit pemikir (kaum tradisionalis?) yang turut membicarakan persoalan perempuan. Bahkan ia menganggap diskusi-diskusi di sekitar turats sebagai omong kosong. Menurutnya, "perdebatan di sekitar turats tidak lebih dari cara baru kaum lelaki meraih kembali dominasinya atas wanita".[6]
Mernissi memandang turats secara negatif. Ia percaya bahwa model masa lalu (al-madli) tidak lagi memadai untuk konteks modern. Itu karena ia meyakini bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat Arab sekarang sangat kompleks.[7] Kendati demikian, bukan berarti Mernissi sepenuhnya berpegang pada capaian modernitas. Dalam banyak tulisannya, dengan keras ia mengecam Barat. Model feminisme yang dikembangkan Barat, menurutnya, hanya melahirkan diskriminasi terhadap perempuan dengan bentuk lain.[8]
[1] www.suaramerdeka.co.id
[2] Ibid
[4] www.suaramerdeka.co.id
[5] F. Mernissi, Al-Dimuqratiyyah ka Inhilal Khuluqi, hal. 57; Hisham Sharabi, Theory,
[6] Politics and the Arab World.
[7] Ibid
[8] Ibid
DAFTAR PUSTAKA
__http://download.ymci.web.id/pakdenono/content/pakdenono1/web_offline/media.isnet.org/ISLAM/Paramadina/Jurnal/Arab3.html
__www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=7132
___www.suaramerdeka.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar